Friday, August 8, 2008

Gaya Bahasa dalam Sastra

Gaya Bahasa dalam Sastra: Allah Tritunggal Menjawab!
By Erwan
Reprinted from PILLAR Magazine No. 58 - May 2008

Saat kita membaca sebuah karya sastra – baik itu novel, cerpen, maupun puisi – yang membuat kita kagum – selain alur cerita, karakter, setting, dan tema – tentu saja adalah style, yaitu gaya penulisannya. Setiap penulis yang baik mempunyai style yang unik dan menarik. Di dalam ilmu bahasa (linguistik), cabang yang mempelajari tentang style penulisan adalah stylistic. Tugas stylistic adalah mempelajari dan menjelaskan mengapa dan bagaimana style dapat mengutarakan arti dan makna, lalu memberikan efek yang diinginkan penulis pada pembaca.

Setelah selesai membaca sebuah tulisan, mungkin kita pernah mengeluarkan komentar-komentar seperti, “Bahasanya puitis sekali” atau “Pendeskripsian dalam teks ini sangat nyata”. Orang yang dapat mengeluarkan pernyataan seperti di atas secara tidak sadar mengakui adanya perbedaan FORM dan CONTENT, MANNER dan MATTER, EXPRESSION dan MESSAGE. Di dalam stylistic, orang-orang yang memisahkan isi dari bentuk termasuk dalam kategori dualisme.

Dualisme dalam stylistic dapat dibagi menjadi dua macam. Satu macam mengatakan bahwa style adalah pakaian dari buah pikiran. Jadi buah pikiran perlu diberi pakaian yang bagus supaya dapat diterima dengan baik oleh pembaca. Tujuan style adalah mendandani, menghiasi, dan mendekorasi buah pikiran. Buah pikiran yang sama dapat mengenakan pakaian yang berbeda-beda, bahkan ia dapat melepaskan pakaian style dan menjadi telanjang. Jika itu yang dilakukan, lahirlah tulisan yang tidak ber-style.

Dualisme macam yang kedua mengatakan bahwa style hanyalah masalah cara penyampaian. Dualisme jenis ini membedakan elemen invariant dari elemen variant di dalam sebuah tulisan. Elemen invariant adalah elemen yang tidak dapat diganti-ganti, sedangkan elemen variant adalah elemen yang dapat secara bebas diganti-ganti. Kita ambil contoh permainan tenis meja. Di dalam permainan tersebut, ada satu set peraturan yang harus diikuti setiap pemain (invariant), misalnya harus memukul bergantian jika bermain double, satu pemain mendapat giliran service lima kali sebelum giliran service diberikan kepada pihak lawan, dan sebagainya. Namun dalam permainan itu juga ada cara memukul bola yang beraneka ragam. Pemain tenis meja dengan bebas berpindah-pindah dari satu jenis pukulan ke jenis pukulan lain (variant), misalnya pukulan
backhand, forehand, smash, bola spin, dan lain-lain. Elemen invariant bersifat mengikat, sedangkan yang variant tidak.

Bagi kaum dualis, isi bersifat invariant, sedangkan style bersifat variant, maka sebuah kalimat dapat diparafrase tanpa mengubah arti kalimat tersebut. Misalnya,

[1] Desdemona mengambil sebuah kursi, lalu mendudukinya.

Parafrase:

[1a] Sebuah kursi diambil oleh Desdemona, kemudian didudukinya.
[1b] Desdemona mengambil dan menduduki sebuah kursi.
[1c] Desdemona mengambil sebuah kursi dan kemudian mendudukinya.

Masih banyak kemungkinan parafrase yang dapat dirangkai untuk kalimat [1]. Bagi seorang dualis, kalimat [1a], [1b], dan [1c] mempunyai arti yang sama dengan [1].

Demikianlah untuk dualisme. Kita akan kembali nanti untuk mengkritisi pandangan tersebut dan menunjukkan kesalahannya. Sekarang mari kita meninjau lagi sebuah pandangan yang berseberangan dengan dualisme: monisme. Bagi monisme, style dan isi tidak dapat dibedakan, sehingga Archibald Macleish menulis, “A poem should not mean but be.Form adalah content dan content adalah form yang kita lihat; di antara keduanya tidak ada perbedaan sama sekali. Untuk membuktikan hal ini, orang monis, misalnya, akan menantang orang dualis untuk memparafrasekan syair puisi, seperti katakanlah puisi Chairil Anwar berikut.

PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi

Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

Apa yang akan ikut hilang jika kita menghilangkan salah satu ‘kau’ di baris pertama dan ketujuh dari puisi ini? Kita tidak dapat menghilangkan salah satu ‘kau’ tanpa juga mengurangi emosi dari puisi ini. Setiap baris dari puisi di atas dirangkai dengan kata-kata yang dipilih dan disusun dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Memparafrase puisi di atas akan memporakporandakan makna keseluruhan ‘Penerimaan’.

Dengan alasan inilah kaum monis berargumen bahwa sebuah kalimat tidak dapat diparafrasekan tanpa mengubah artinya. Karena style adalah isi dan isi adalah style, mengubah style sama saja dengan mengubah isi.

Ada anggapan bahwa dualisme lebih cocok dengan prosa karena prosa lebih mudah diparafrasekan daripada puisi, sedangkan monisme lebih berjodoh dengan puisi karena kita tidak dapat memparafrasekan puisi tanpa mengubah artinya. Namun mari kita coba melihat bagaimana monisme ternyata juga dapat menantang dualisme di kandangnya sendiri. Mari kita
ambil contoh [1] dan ketiga parafrasenya. [1a] tidaklah sama persis dengan [1] karena objek kalimat disebut terlebih dahulu, menandakan penekanan sudah dipindahkan dari ‘Desdemona’ ke ‘kursi’. [1b] sedikit ambigu karena berdasarkan informasi yang kita dapatkan dari kalimat [1b], kursi yang diambil belum tentu juga kursi yang diduduki oleh Desdemona. [1c] menggantikan jeda koma dengan menggabungkan kedua klausa menjadi satu. Penggabungan ini memberikan efek aliran yang lebih cepat pada lajunya kalimat. Ini dapat mengindikasikan betapa cepatnya Desdemona duduk setelah mengambil kursi.

Penjelasannya orang monisme cukup masuk akal sampai di sini, tapi bagaimana dengan dua parafrase di bawah ini?

[1] Desdemona mengambil sebuah kursi, lalu mendudukinya.
[1d] Desdemona mengambil sebuah bangku, lalu mendudukinya.
[1e] Desdemona mengambil sebuah kursi, kemudian mendudukinya.

Meskipun tidak terlalu tepat jika disebut parafrase, kedua contoh di atas juga adalah variasi yang sah dari [1]. Menghadapi ini, para monis pertama-tama mungkin akan mencari, dan jika mereka beruntung, akan menemukan perbedaan arti antara ‘bangku’ dengan ‘kursi’, dan antara ‘lalu’ dengan ‘kemudian’. Jika mereka tidak berhasil, maka kedua, mereka dapat saja berargumen tentang tidak samanya panjang kalimat [1] dibandingkan dengan [1d] dan [1e]. Di dalam penulisan, keekonomisan kalimat juga dapat mengungkapkan makna. Ketiga, ketiga kalimat tersebut juga berbeda di dalam bunyi, yang sangat sering menjadi media penulis, terutama penyair, untuk mengantarkan makna. Ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada pilihan yang netral. Tidak ada style yang netral: semua pilihan adalah menyangkut makna.

Akan tetapi, dengan pendiriannya bahwa isi dan style adalah dua hal yang sama, monisme mengabaikan fakta bahwa setiap tulisan itu dituliskan tentang sesuatu di luar bahasa. Isi dan style tentu saja adalah dua hal yang berbeda. Isi adalah dunia atau konsep di luar bahasa, sedangkan style adalah bahasa yang digunakan untuk mengutarakan konsep itu. Mari kita lihat salah satu contoh kesalahan monisme sebagai implikasi dari teorinya tentang kesamaan isi-style. Bagi monisme, kedua kalimat di bawah ini hanyalah masalah perbedaan style:

[2] Sambil duduk dengan santai, Desdemona menyeruput kopi dan membaca koran.
[3] Sambil duduk dengan santai, kambing itu menyeruput kopi dan membaca koran.

Dengan catatan bahwa Desdemona bukan nama seekor kambing, kita tahu bahwa perbedaan [2] dan [3] bukanlah pada style tetapi pada peristiwa yang mereka gambarkan, yaitu isinya. Dengan menggantikan kata ‘Desdemona’ dengan ‘kambing itu’, saya sama sekali bukan sedang mengganti gaya bahasa saya, tetapi saya mengganti dunia di dalam kalimat [2] dengan sebuah dunia yang sama sekali berbeda, dunia di mana kambing bisa bertingkah laku seperti manusia.

Kesalahan kaum monisme adalah mereka tidak membedakan antara bekerja di dalam bahasa dengan bekerja melalui bahasa. Pada kenyataannya, bekerja di dalam bahasa adalah hal yang berbeda dengan bekerja melalui bahasa. Geoffrey Leech berpendapat bahwa ada dua macam pernyataan yang dapat dibuat untuk sebuah karya tulis. Di satu sisi, sebuah tulisan dapat digambarkan sebagai sebuah teks linguistik:

X ditulis dengan bahasa yang sederhana/lugas/kompleks/puitis, dan lain-lain.

Dalam hal ini penulis dikatakan sedang bekerja di dalam bahasa, karena ia mengutak-atik bahasa sehingga bahasa tersebut mengeluarkan makna. Di sisi lain, sebuah karya tulis dapat digambarkan dengan cara yang tidak menyinggung hal yang berhubungan dengan linguistik:

Di dalam X terdapat seorang karakter yang bijak.

Atau,

X adalah cerita tentang seorang karakter yang kejam, tentang sebuah peristiwa yang terjadi pada abad pertengahan, dan lain-lain.

Dalam hal ini penulis dikatakan sedang bekerja melalui bahasa, karena ia menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu di luar bahasa [1].

Lagipula, dengan pendiriannya itu, kaum monis tidak akan dapat membuat penilaian terhadap sebuah tulisan. Tidak ada lagi perbedaan antara ‘apa yang seharusnya dikatakan’ dengan ‘bagaimana mengatakannya’. Padahal kita seringkali ketika membaca tulisan buruk dapat mengeluarkan komentar seperti, “Seharusnya ini dapat dituliskan dengan cara yang lebih baik lagi.” Selain itu, kaum monis tidak punya alasan untuk memberi penilaian ‘ini sastra tingkat tinggi dan ini tingkat rendah’, sedangkan kaum dualis punya alasan untuk itu karena bagi mereka ada banyak cara untuk mengungkapkan sebuah pikiran.

Sampai di sini tampak seolah-olah kita mengunggulkan dualisme. Namun dualisme juga bukannya tanpa kelemahan. Seperti yang sudah kita lihat pada contoh puisi Chairil Anwar di atas, monisme benar dengan mengatakan bahwa di dalam style terkandung makna. Mengubah style dapat mengubah makna. Ini adalah sesuatu yang ditentang oleh dualisme. Dualisme macam
yang pertama tadi bahkan mengatakan kalau suatu tulisan dapat berada tanpa style. Ini adalah kesalahan di dalam mengerti arti style. Style terus dimengerti sebagai gaya bahasa yang unik, aneh, dan indah, padahal di dalam tulisan terdapat style yang sederhana, style yang buruk, style yang monoton, dan sebagainya. Jadi, tidak mungkin ada tulisan tanpa style. “Style is a property of all texts.” tulis Leech [2]. Sedangkan kesalahan dualisme jenis kedua yaitu, seperti yang sudah dibahas di atas, adanya anggapan bahwa style adalah medium yang netral. Tadi sudah dibahas bahwa setiap pemilihan penggunaan style tidak ada yang netral, semuanya menyangkut makna yang hendak disampaikan.

Nampaknya dualisme dan monisme sama-sama mempunyai tanah pijaknya sendiri. Keduanya tidak seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Sebagai orang Kristen, kubu yang manakah yang harus kita pilih? Monisme atau dualisme? Atau apakah kita, sebagai penerima wahyu khusus, dapat memberikan sebuah cara alternatif mengerti hubungan isi-style yang berbeda dari yang ditawarkan kedua kubu di atas?

Karena masalah style dan isi ini menyangkut bidang bahasa, kita perlu melihat ke dalam Alkitab dan mencari prinsip yang membicarakan bahasa. Apakah Alkitab memberikan prinsip kebenaran di dalam bidang bahasa? Atau, apakah Alkitab menyediakan contoh natur bahasa yang sempurna, ideal, dan dapat menjadi archetype (model sempurna) bagi seluruh bahasa di dunia? Jawabannya adalah: HARUS ADA. Archetype bahasa ada pada Allah Tritunggal, Pencipta langit dan bumi serta isinya. Mari kita perhatikan beberapa ayat yang menyangkut natur bahasa:

“Pada mulanya adalah Sang Kata; Sang Kata itu bersama-sama dengan Allah dan Sang Kata itu adalah Allah.” (Yoh. 1:1)
“Sekiranya kamu mengenal aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh. 14:7)
“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yoh. 14:9)
“Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan.” (Kol. 1:15)
“The Son is the radiance of God’s glory and the exact representation of his being.” (Ibr. 1:3) [3]
“Yesus . . . penuh dengan Roh Kudus.” (Luk. 4:1)

Alkitab mengajarkan bahwa Kristus adalah Kata yang keluar (manifestasi) dari Allah Bapa. Ia adalah Wahyu yang diberikan oleh Bapa supaya Bapa yang tidak kelihatan itu boleh dikenal oleh manusia. Sang Kata adalah representasi keberadaan-Nya dan tidak ada distorsi antara yang merepresentasi dan yang direpresentasikan. Barangsiapa yang sudah melihat yang merepresentasikan, dia juga sudah melihat yang direpresentasikan, tetapi yang merepresentasikan itu bukan yang direpresentasikan. Dan semua ini dapat terjadi karena ada Roh Kudus yang mengikat yang merepresentasikan dengan yang direpresentasikan.

Menurut Vern S. Poythress, kita dapat menganalogikan relasi pikiran-kata dengan Bapa-Kata, “On a human level, we may say that the relation between human thought and human word is analogical to the relation between the Father and the Word” [4]. Di sini saya ingin menarik lebih jauh lagi analogi tersebut. Bapa-Anak bukan hanya menjadi analogi model pikiran-kata, tetapi juga dengan content-form, matter-manner, message-expression, atau isi-style. Jika memang demikian, ayat-ayat yang baru kita baca tadi dapat kita gunakan untuk menjawab baik monisme maupun dualisme.

Monisme benar di dalam mempertahankan pentingnya kemutlakan representasi (style). Ketika representasinya diubah, makna yang hendak disampaikan juga terpengaruh, karena ada ide yang lebih tepat direpresentasikan oleh suatu representasi tertentu daripada representasi yang lain, yang mana jika representasi yang paling tepat itu diganti dengan representasi yang kurang tepat, maka makna yang disampaikan juga akan meleset dari yang diinginkan. Tetapi monisme salah karena tidak mau membedakan antara yang merepresentasi dengan yang direpresentasikan. Style hanyalah representasi dari ide yang tidak kelihatan yang berada di luar bahasa. Style bukanlah ide itu sendiri.

Dualisme benar karena membedakan yang direpresentasi dengan yang merepresentasi. Yang merepresentasi memang bukan yang direpresentasi, dan yang direpresentasi bukan yang merepresentasi. Namun dualisme jenis pertama melangkah terlalu jauh ketika berkata bahwa yang merepresentasikan hanyalah dekorasi dari yang direpresentasikan. Yang merepresentasikan juga boleh tidak hadir. Ini adalah hal yang mustahil karena yang direpresentasi adalah sesuatu yang di luar bahasa. Kembali kepada model Bapa-Kata, kita tahu bahwa tidak ada orang yang bisa langsung melihat Allah Bapa. Kita selalu memerlukan medium (Mediator), yaitu Yesus Kristus.

Dualisme jenis kedua salah karena mengatakan bahwa ada banyak pilihan representasi yang sama tepatnya di dalam merepresentasi sebuah ide. Ini bukanlah yang terdapat dalam model Bapa-Kata. Di dalam model itu, tidak ada yang dapat merepresentasikan Bapa dengan lebih exact daripada yang dapat dilakukan oleh Sang Kata. Setiap ide mempunyai satu representasi yang paling tepat, dan tugas para penulis adalah menemukan dan menggunakannya. Penulis yang baik adalah penulis yang dapat menemukan style yang paling representatif bagi pikirannya.

Sebagai contoh, saya akan coba memparafrase sebuah kutipan yang diambil dari cerpen Jujur Pranoto.

Seperti ingin bunuh diri, Monsera menantang teriknya Matahari tanpa berbekal setetes pun air dan menantang dinginnya malam tanpa berbekal selembar pun selimut. Pada hari ketujuh, Monsera tergeletak tanpa daya di atas permukaan rumput. Saat itu hujan turun deras. Kilat berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap. Guntur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera [5].

Parafrase:

Tanpa takut mati, Monsera berjalan di bawah terik matahari tanpa membawa air dan melewati malam yang dingin tanpa membawa selimut. Tujuh hari kemudian, Monsera jatuh pingsan di atas tanah berumput. Ketika itu sedang ada hujan deras. Kilat memancar-mancar, sesekali membagi terang di tengah-tengah malam yang gelap. Terdengar juga suara guntur. Sesaat kemudian, tubuh Monsera tersambar petir.

Kedua paragraf di atas mengacu pada sebuah kejadian yang sama. Tetapi saya yakin, Jujur Pranoto kemungkinan besar tidak akan puas jika paragrafnya diganti dengan parafrase saya, karena baginya parafrase saya kurang dapat merepresentasikan apa yang dia imajinasikan.

Sebagai penulis Kristen, kita seharusnya terus menerus bergumul dan bergelut dengan pena kita sampai kita dapat mengeluarkan style yang paling representatif. Sebagai Anak yang diutus, Yesus taat sebagai hamba kepada Bapa karena Ia ingin sempurna merepresentasikan Bapa. Maka dengan semangat manifestasional Kristus ini, marilah kita juga berjuang untuk mengeluarkan style yang serepresentatif mungkin untuk pikiran kita. To Him be the glory! Amin.

Endnotes:
[1] Leech, G. (1981). Sytle in Fiction: A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London: Longman. p. 37
[2] idem. p. 18
[3] Terjemahan NIV. Terjemahan LAI kurang menggigit, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.” Di sini kata “exact” tidak terterjemahkan.
[4] Poythress, V. (19—). God-Centered Biblical Interpretation. Philipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Company. Diambil dari versi web: http://www.frame-poythress.org/Poythress_books/ GCBI/BG00Front.htm. Bab 7
[5] Pranoto, J. (2002). Doa yang mengancam. Jejak Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2002. Ed. Nurhan, K. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. p. 48-58

Theology and Technology

By Rahmadi Trimananda

Introduction

Once upon a time, men and women lived in a so called traditional way. There was no electricity, no lamps, and even no machines. Was there anything wrong? No, there was not. It was just a period of time, when everyone could live peacefully and happily without having to think about the contacts they might have in their hand-phones, the appointments they made by using their PDAs. They even did not think about buying fuels for their cars as it is in the mind of today’s modern people who are troubled by the steep rising of the world’s fuel price. The world was so peaceful and calm at that time.

Suddenly, the industrial revolution came into human’s civilization at the end of 18th century and early 19th century. It caused major changes in agriculture, manufacturing, and transportation, which then give great impact on social, economics, and cultural conditions in Britain [1]. Machines, as the embryo of automatic devices, were rising at that time, giving so much new flavors to human’s life. The train and steam boat were invented in the mean time, as the trend went further until the late 19th century.

The freedom of thinking, which has appeared 2 centuries before, was one of the causes for this rapid changing. Human had put God aside from the center of life since the Renaissance movement rose in Europe. What happened? God, through the Christendom, was “reigning” over the land before the free thinking period came. People were not brave enough to say what they thought about everything they had and experienced in life, and even about the religion itself. However, the enlightenment had changed everything once and forever. Since then, men thought that they got a new source of energy to explore the legacy of this world. Wow, isn’t it too fast to conclude? The church, accused as the cause of the imprisonment of human’s thought, was finally left by the followers. Together, those people tried to discover their own ways of life. I cannot even believe that such thing could have happened in the history of the civilization.

Industrial revolution, French revolution, and American revolution are probably the most important events that contribute to the modern technology and the modern way of life. Within one hundred years, the industrial revolution had been able to bring the world society to enter the new chapter, so called the modern era. New things were invented and people thought that they solved the major problems, but they actually did not. In fact, the two worst wars were happening at the modern period of the early 20th century. As God had been put aside, science (human’s thought) and technology emerged as the new religion.

The philosophy of technology and theology

Now we get into the real complication, because technology actually creates more problems rather than solves the initial problems. In the mean time, theology has been being left behind. Is there any way out of here? It is an irony, because the effort to summon a better condition for life has been showing its inherent flaws. At the same time, again, it has already been too far for the thoughts to get back to God.

Since the invention of the computer in the middle of 20th century, humans have started thinking once again, that they got a super antidote for all problems in life. Within only 30 to 40 years, computers could develop so rapidly that they penetrated almost every aspect of human’s life. It has been developing even outrageously within the past 20 years, dating back to 1990s. Nowadays, technology is very identical to a computer based system. One may not admit so, but it is irrefutable that we have computers in almost every single entity that we see and have today. It is amazing, isn’t it?

In the middle of this great advancement, it is a big irony that men deny their religious nature. As we have agreed before, people tried to change God with science and technology. This has made human’s life become emptier. Slow but sure, life loses its meaning. The advances we saw and still see in science and technology cannot bring the real meaning back. So, what should we then do? How should we then consider the positions of God and technology in the modern life? It is of course not without any reasons that God allowed the modern era came to our lives.

The jazz corner

I was once in a festival in my neighborhood and I saw a guitar superhero, namely I Wayan Balawan. This guy could really shred the guitar’s neck until the last piece. There are only two words suitable for this guy: remarkably unbelievable. He is an Indonesian guitarist and for me he is a pure Indonesian-ist. He plays western Jazz music, but he does not make his music like the western people make it. He chose his own style of playing and he uses Jazz music as his media to bring his ideas and to express it everywhere.

One of his outstanding compositions is called Country Beleganjur. From its name, of course, we can guess that the music would sound somewhat western, as it bears “country” for its first name. The basic structure is country music. However, he reorganizes everything to make it become a Jazz-Country style. Even more, he goes further and puts his own ideas there. He puts the Balinese percussion and musical instrument on top of this Jazz-Country music. It is simply intended to introduce the Balinese local music to the Jazz and western music fans, especially for those coming from Europe. He plays the composition very gracefully and charmingly. Every single eye would stare at his fast-dancing fingers while he was playing. He does not reduce the measure of the Jazziness, yet he is able to put the deepest essence of the traditional Balinese content in it.

Unlike other good guitarists, Balawan plays a completely different set of ideas and standard although all of them play the same instrument, electric guitar. Most of the electric guitarists play pure western flavored compositions, while Balawan could create a good mixture to deliver the traditionalism on top of modernism.

Up to here, it might be clearer that I want to compare this example to the Christian life. Moving back to our discussion about technology and theology, we can see that the positions of these two entities are like the music that Balawan has created. Theology is the foundation of technology, and yet it is the content of the deliverance of technology. Technology is a tool to reveal God’s glory even more and to reveal technology, to get acquainted to God’s will, we should put theology as the basic foundation of belief. But, what does the bible say about this? Let’s continue the discussion further. Hold on.

Theology and Technology

What now? The bible in one of its parts about knowledge, Psalm 1:7, says that the fear of the Lord is the beginning of knowledge. It completely goes side by side with what we have discussed about before. Technology is the tool, not the content. Theology is the foundation, the content, and it is also the sword that should be used to justify technology. In Genesis 1 and 2, God gave the order to human to preserve this world. Technology is the most relevant mean to be used, in order to preserve this world in today’s modern life. However, the task is not up to preserving this world, because technology itself has been contaminated by the nature of sin. Its position is now should be brought back into God’s divine plan.

The question to think about is how we apply this positioning in the real world, in everyday’s life, in our daily activities, whether we are special agents of technology or not. I myself am a still-in-process engineer. I know what engineering is, but I have to struggle more to find the meaning and the position of my specific field of engineering in God’s eternal plan. One thing that I know, theology should be the foundation of all. My engineering knowledge should be established on top of it and should be redeemed according to God’s word, and should be used for preserving this world. As my field is computer engineering, for instance, I have to find a way to make the computers in such a way that they can be used to glorify God. It indeed does not give the influence deliberately like a sermon from the pulpit. A good computer installation can make the computer network in a Christian foundation work well, and thus it will result in a strong computer and database management system that may help the social workers organizing their activities better. At the end, it will affect thousands of people and even more. It is exactly as what Martin Luther have said about calling. No matter what kind of job we are responsible for, we have to do it as good as we can, because we serve God in everything we have and we do. Even more, we should think further to use technology as a mean to spread the gospel to as many people as possible. Therefore, we can end this discussion in the following sentence: we should struggle to redeem the technology according to God’s word, we develop technology in order to fulfill God’s command to preserve this world, and we use technology in such a way as a vehicle to introduce God to many people. Is this enough? It might never be enough. Now, it is your turn to also think about it. Do you dare to take this challenge?

References:
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/Industrial_Revolution
[2] http://www.blahblahtech.com/2007/10/just-what-is-technology.html
[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Technology

The Transforming Vision

The Transforming Vision: Shaping a Christian World View
By Brian J. Walsh & J. Richard Middleton
Downers Grove: IVP, 1984
Book Review by Jadi S. Lima, yadislima.blogspot.com

“This book, then, is a passionate call to Christians to be of one heart and mind, and acknowledge that Jesus Christ is Lord in all of life.” Thus said Mr. Wolterstorff in the foreword of this book. Back then in 1998 when the first time I read this book, its call coming out loud. It came to me that a journey to understand Christian Worldview is not a mere intellectual fascination. Indeed, worldviews are not systems of thought, like theologies or philosophies – they are perceptual frameworks (p. 17) that direct all areas of human life. I found it as a bridge between general theories and particular everyday living. The author structured the book in four parts: What are worldviews (ch. 1-2), The Biblical Worldview (ch. 3-4), The (Biblical Analysis) of Modern Worldview (ch. 6-9), and The Biblical Worldview in Action (ch. 10-12).

What are Worldviews?

The analysis begun with case study of concrete practices in everyday life of a young Singaporean bachelor, child-rearing practices in Japan and Canada, and the contrasts of the view concerning land held by North America’s dominant culture and its native Indian culture. The authors tried to show what is worldview and how does it direct our lives by showing that worldviews are more than systems reducible to theoretical description (p. 29). A worldview is more than a mere abstraction.

The authors used Mr. Olthuis’ distinction (actually coming from Cliford Greetz) between worldview as a vision of life, and also always a vison for life. Worldview as ‘what is’ and ‘what ought’. It determines how do we see the world, distinguish what is valuables from what is not – and as a consequence: what is worth doing and what is not. In short, it provides a model of the world which guides its adherents in the world (p. 32).

Worldviews are founded on ultimate faith commitments, that is, the way we answer four basic questions facing everyone (p. 35):

1. Who am I?
2. Where am I?
3. What’s wrong?
4. What’s the remedy?

The answers of these questions lie deep in our religious core (ie: heart). Sometimes it is explicitly realized, but most of the times it is subconsciously held (p.35). Our ultimate faith commitment as confessing-believing creature shapes the contour of our worldview. So, doubts and skepticism that bring faith-crisis will eventually shakes our being and living in the world. Angst will remove the ground from our feet. Worldview is not philosophical or theological system, but it is the foundational to such a system (although never exhausted in it) (p.35).

In this book Brian Walsh and Richard Middleton also supply us with criteria to judge and choose between different and conflicting worldview. Those are (p. 37-39):

1. Reality: Does the worldview accomplish what a worldview ought to accomplish? Does it elucidate all of life or just open up (or even overemphasize) some aspects of life while ignoring others? Since God created the whole reality as a coherent meaning, a worldview that does not integrate and elucidate God’s creation as it really is cannot lead to an integral and whole way of life.
2. Love and Justice: Does the worldview sensitizes or desensitizes us to issues of love and justice? Does it ever challenge evil in our life?
3. Internal coherence: Does it internally coherent or just some self-contradicting fragments brought together?
4. Openness: Does this view bring life or death, blessing or curse? Open life or closing it down? (Deut 30:15-20). And implicitly, does it recognize its own limitations and open to learn from other visions of life? A good worldview is not ideology.

For Christians, the ultimate criterion by which we judge our worldview is the Bible. Our worldview, faith confession, and theories must be judged and guided by the Scripture. That is the reason why this book tries to construct a biblical worldview as the pathway for our walk with God (p. 39).

The Biblical Worldview

Basically, Walsh-Middleton structured the presentation in this part according to biblical Creation-Fall-Redemption ground-motive.

Creation

There will be huge difference in our way to see and shape the world once we take seriously the biblical proclamation, “In the beginning God created the heavens and the earth.” The Christian worldview doesn’t properly begin with Christ and salvation (soteriological issue), but with God and creation. We can’t make sense of salvation, redemption, and reconciliation (‘what’s the remedy’) without first have an idea about ‘what is sin?’ (‘what’s wrong’). And we can’t really understand what sin destroyed, depraved, or distort without having the right idea about what good was it in the beginning (‘where am I? and who am I?’), ie: the biblical view on creation (p. 43-44). God created this world by His word (Gen 1-2, Ps 33:6-9) and by His wisdom (Prov 8). The first metaphor indicates God’s mighty power and sovereign will, while the second indicates the brilliance of His plan and design (p.46-47). The Bible never discussed creation in an abstract, speculative manner, but with a sense of awe before the Lord’s amazing power and glory. The tone here is worship. So, the story of creation is not an industrial report of ‘design planning and mass-production’ of the universe. “Creation is essentially constituted as a response to the laws of God,” said Walsh-Middleton (p.49-50). In the contrary to Deism, biblical drama of providence pictures God as a faithful King who keep His promise with His creation to sustain their existence. God’s covenant bonding is not limited to His people only, but extended to the whole creation (p. 50-52). However, human beings is a special kind of creature. Although we are here to serve the King just like the rest of the creature, but like none other, we were made in the image of God. Along history theologians and philosophers alike debating over the meaning of the term, but alas, many interpretations of it have been influenced by non-Christian philosophy (p. 52-53). Walsh-Middleton believe that we are suppose to correlate it to two important biblical notion: 1) our dominion over creation and 2) our religious choice to serve God or idols. Our ‘dominion’ over the earth should not be interpreted as ‘exploiting’ the planet. But, it is to be read as ‘developing and preserving’ the creation. God put us here to ‘cultivate’ the garden. To ‘cultivate’ is to ‘culture’ it, ie: to shape it according to a plan. In other words, to be an imago Dei is to make history. God’s command to develop the creation also means to cultivate human relationships, institutions, art, advertising, and many other things in human life (p. 55). But, the development never meant to be unbridled. We must be a responsible steward over God’s creation.

Fall

Our religious choice to serve God or idols has brought us to the condition we called ‘fall’. We chose idols and reap the consequences. This is our answer to the second worldview question, “What’s wrong?” Although it seldom concerns modern Christians, analysis of the nature of idolatry is essential to our understanding about the fall and imago Dei (p. 62). What is idolatry? Basically it is the usurping of God’s place and ours with idols. Our religious nature will not allow us not to worship. If we are not worshipping God, then we are surely worshipping other things, ie: creation. The consequences is disastrous. Injustice and other evils will follow. Idolatry is also usurping our place. The very word for ‘idols’ in Hebrew is also the word for ‘image’. Idols or image means representation. Even in the ancient world, people didn’t think that an idol to be an actual god. Instead, they believe it as a visible embodiment of their god, representing his/her power and majesty (p. 64). So, we human as imago Dei means, we are to visibly represent God with the totality of our life. Therefore the Neo-Calvinists battle cry, “Life is religion!” The sin of idolatry is not in trying to make God visible (indeed, this is the very task of we humans), but in false worship (wrong object of worship, ie: idols) and false imaging (it is human being itself who have to be the idols/image of God, not any other things) (p. 64-65). We must choose between worshipping God or idols. There is no abstain here. If all aspects of our lives are not an expression of our love for Him,they will express rebellion against Him (p. 69). The fallen condition of the creation means sin is no longer just a created possibility, but it is a present fact. Satan is actively enticing this universe’s inhabitants to treason against their Rightful Ruler (p. 70). As C. S. Lewis said, “Every square inch, every split second, is claimed by God and counterclaimed by Satan.”

Redemption

One day Satan will be defeated, evil will be no more, and the creation will once again flourish with Shalom. Walsh-Middleton made a clear and concise summary of redemptive history by each covenant God gave from the time of Noah to Jesus Christ. In Jesus, God once again redoing the act of creation and reverse the destructive process that going so far as a result of our rebellion against the Creator. Satan was defeated, the war has won by our Messiah, yet the battle is still going on. The imago Dei restored once again by the work of the Spirit. It means as the steward of God’s creation we are to cultivate this world for God’s glory. Every aspect of the creation is renewed. Just as sin has ruined every aspect of creation, the redemption also left nothing untouched by the grace. Walsh-Middleton likened this to electrical circuits. In the analogy, the cables are the structure of creation; while the electron flow is the direction of creation as obeying their Rightful King or disobey Him. I found the metaphor to be very useful to explain the C-F-R plot in the christian worldview as opposed to other, dualistic, pagan/secular worldview. The question is not which area in life is holy (or unholy), but which direction is holy (or unholy). Since the formation of history is keep going, no matter the fall misdirected it, we are now encounter cultural formations. These formations, in most of the case are mixed-bag of good and evil. So, our task as believers are to discern what part of the cultural formations is creatonally good, and which other parts are misdirected, therefore is evil (p. 90).

The (Biblical Analysis) of Modern Worldview

In this part Walsh-Middleton tried to exorcise dualism from the way we see reality. The dualism’s split-view of reality had effectively crippled Christians from shaping the world according to God’s will. As Jim Wallis’ notes, “There is little evidence in the way Christians live to support our claim that the Kingdom of heaven is at hand. Rather, the evidence would suggest that, in most churches, the culture of economic, political, and military systems of United States is at hand. The question must be asked why the churches do not live by their confession.” (p. 94). Walsh-Middleton point to some forms of dualisms, such as sacred/secular, vita activa/vita contemplativa, inner-life/external-life that fragmented our life and therefore limit God’s redemptive activity to small areas of our lives. Other areas are left untouched by the radical transforming power of God’s word. How can this happen?

Walsh-Middleton then analyze Western cultural history to track down every turn that brought this dualism to the way we Christians see the world. Beginning with Plato and Plotinus dualism between form/matter (that manifest in the their dualistic anthropology-spirituality of body/soul opposition) that influence early church fathers as Justn Martyr, Origen, Basil, and finally the great st. Augustine himself (p. 108-112). As the father of Mediaeval culture, Augustine positivize his Platonic dualism in many areas. Notably in the ecclesiastization of the era (p. 110-111). Life, under the influence of Augustine is oriented to the vertical, internal, eternal, spiritual, heavenly, and ascetic. Together with Augustine’s tendency to stress our falleness, this other-worldly ascetism left very litte room for economic, technological, and scientific developments.

The other half of Middle-Ages witness the renaissance of Aristotle in the work of Thomas Aquinas. Unlike Plato and Neo-Platonisms that have a negative view on the material world, Aristotelianism (and its Christian baptizer, Thomas Aquinas) open up rooms for horizontal-natural side of life (p. 112). Unlike Augustine, st. Thomas stressed the goodness of creation rather than the ugliness of its fall. But the problem with Thomism is its ‘double-decker’ view of reality. The redemption (‘grace’) is just ‘added up’ (donum superadditum) at the top of natural creation. Body, material goods, and ‘secular work’ is not viewed as inherently evil, but just ‘not as important as’ the spiritual ones. Although st. Thomas’ dualism is of different type than st. Augustine’s, but it still limit the scope of Christ’s redemption. In this case grace doesn’t make too much difference to natural world. This dualism opened the door to secularism. If Christ has practically nothing to say to our everyday-secular side of life, then those side will open itself to other voices. In this case, the guidance of Aristotle and later to the leads of the secular humanists. In other words, the Christians open itself to the double allegiance. Jesus is the King for our ‘spiritual life’, while Mammon is our Master in the ‘secular areas’ of life. It is Thomas that open the gate to modern-atheistic secularism.

How did Thomistic dualism give a way to modern secularism? It is Pico della Mirandola’s Oration on the Dignity of Man (1487) that retelling the story of creation in different tunes. There, he pictures man as homo autonomous, free to determined his own position and course of actions. From that time being, the mediaeval answer of ‘who am I?’ and ‘where am I?’ had changed forever. Man become god unto himself, and nature become the wild expansive arena for his exploration. The mediaeval dualism of grace vs. nature gave way to modern humankind’s (individual) freedom vs. deterministic nature. History witness a brand new worldview that never been existed before. Two tendencies were listed by Walsh-Middleton: empiricism and mathematical rationalism. The modern worldview has a peculiar way to see empirical world. Unlike the ancient Greeks that derive science from the ‘rational order’ of ideal realm, or the Schoolmen that see goodness of natural world as a pointer to ‘higher realm’ of supernature and God. The way Francis Bacon in his Novum Organum treated man, the natural world, evil, and salvation shows us the difference. Bacon define the fall of men as the fall from innocence and dominion over nature. The ‘what’s wrong?’ question is fragmented into two realms – moral and physical. The earlier is solved by religion and faith, while the latter by arts and sciences (p. 120-121). Bacon’s empirical method will unlock the key to understand natural law and once again gives us power to dominate natural world. Together with Bacon, Descartes’ prepared the foundation of modern Newtonian view of the universe (the mechanistic universe bounded by rigid law of cause-effect).

Walsh-Middleton also clarify the confusion caused by some claims about the influence of Christian’s belief in the founding of modern view of the universe. The logic is quite straight. Since the Christians belief in a rational God who created a rational universe, it is this idea that enabled modernity to have their rationalistic science. The logic is flawed however. It is not exclusively Christian to have an idea of a rational universe. The ancient Egyptians, Mesopotamians, Babylonians, and other Near Easterns have an idea of regular and structured universe. And it is essentially Greek, not Christian, to understand the universe as rationalistic. So who was the main contributor to laid the foundation of modern science? Hooykaas said that the building materials of modern science (logic, math, and the view of a rational cosmos) were coming from the Greeks, while the vitamins for healthy growth came from the biblical concept of creation (p. 127). The positive appreciation of the cosmos definitely did not come from the ancient Greeks or the secular humanists. It actually came from the Reformator’s emphasis on the goodness of the created cosmos and our cultural mandate to develop it.

The modern-secular worldview’s innovation is to free human beings from any dependence to anything above her. For them, humankind themselves is God. Even the Greek view held that man was divine by the virtue of his (educated) reason that participated in (or conformed to) the eternal logos (p. 128). Man, finally is the measure of all things. We are becoming a law upon ourselves (homo autonomous). But, this is a pretended autonomy. Actually, we are hoping, trembling, and fascinated before the unholy trinity of our age: Scientism, technicism, and economism.

Science reveals to us the knowledge of the wild natural world structures. Once the ‘secret’ known, we can easily tame the cosmos. For modern man, ignorance is the original sin and salvation coming from education. “Knowledge is power,” said Bacon. With scientific method the (pretended) Almighty Man get his Omniscience. We must distinguish modern man’s obsesssion with science from his Greeks predecessors. While the Greeks seeks harmony with logos, the modern man seeks control. His obsession is actually to be in control.

Technology brought power at the tips of our fingers. Science embody itself in technology to give omnipotence to the homo autonomous. Machines are the extension of the (false) gods to control the wild, wild world, so we can realize the (false) prophecy of unbounded, unending progress. But, later the machine grew so powerful, until it overwhelmingly control the life of his own masters. It grew so big, his appetite for power dries up our resources very, very quickly.

The third god of modernism is Economism (or, Capitalism). Adam Smith, the father of classical capitalism put his faith on the good (but invisible) hands that regulate the market for the good of all. The lust for profits, once a deadly sin in middle-ages era, now becoming the carrot that lure us to a better tomorrow. Result? A quantum leap in the ‘standard of living’ – but is not (and cannot) for the most of the earth’s populations.

Now, at the end of modernism (this book was written at 1983-1984, prior to the fall of Berlin Wall) people realize that the unholy trinity is ‘running out of gas’. We are headed energy crises, world financial crises, social unrest, war, etc. The modern idols has proved itself inadequate. How can Jesus, through his body brings healing is discussed in the next part.

The Biblical Worldview in Action

In the last three chapters of the book Walsh-Middleton tried to sketch a direction (not a blueprint – see p. 151) for a truly Christian response to cultivate the culture. They stressed that a truly Christian response must be radical and comprehensive. We cannot limit our response to some areas, while naively ignoring others (eg. reject abortions but agree to increasing military expenditures; ‘against’ degradations of morality, but practically silent about the triumph of economism as King in society that often leads to it – see p. 150). This radical re-directing of society means we have to be totally change our way of doing and being. “True cultural renewal is possible only if we abandoned our idols, recognize the multidimensionality of life, respond obediently to God’s norms for our lives and engage communally in cultural renewal,” said Walsh-Middleton (p. 163). Only if we renounce the idols of scientism, technologism, and economism that a cultural renewal can begin (p. 152). We must reject to see life as ‘no more than…’ (reductionism). As a consequence, we must admit that there’s a multi-aspect creational law. We must respect this law in every aspect of life. And we surely cannot do these things alone. The cultural mandate is a communal calling.

One of the most strategic place to subvert the modern-atheistic empire is in the training center of their priest, that is: the universities. In this place, usually many of the (modern) professors are blind to their own religious commitment. Dooyeweerd, Kuhn, Polanyi and some other thinkers open our eyes about this fact. “The question isn’t really one of ‘integrating’ faith and scholarship. Faith and scholarship always are integrated. The question is which faith?” (p. 172). Scholarships are always be done on a set of philosophical framework that itself guided by a pretheoretical worldview. So, to do a genuine Christian scholarship, a truly Christian philosophical framework is required. As Wolterstorff said, “The Bible doesn’t provide us with a body of indubitably known propositions by reference to which we can govern all our acceptance and non-acceptance of theories.” (p. 172) The way from biblical vision of life to a detail of scientific analysis is mediated by a philosophical paradigm. We need to develop such a theoretical framework – one which is sensitive to and rooted in the biblical worldview (p. 173).

“The beginning of a Christian philosophy is the perspective that everything, including humans and their theories, is subject to and exists only in response to God’s creational law (or word).” (p.175-176) To understand this creational law, we must observe the creation. But, there’s a problem with this. First, Since the creation is fallen, we have to discern the effect of the fall from the creational law itself. Second, we must not confuse law/order of the universe with logic (which is just one of the many aspects of reality). To say that our universe is ordered is not the same with saying that our universe is rational/logical. Logic itself is a part of God’s creation and therefore bounded by the creational law. Third, since we the observer is a part of our universe we observe – we must admit the limitation of our horizon of knowing. Dooyeweerd pointed to the problem of explaining reality as homo autonomous observing mechanical-rational universe. Modern dualism of freedom/determinism is haunted by absurdity. When we deify logic, human freedom itself is threatened by the rigidly mechanical conception of reality. As a result, scholars tried to stop the encroachment of determinism by splitting the academy into Geisteswissenschaften and Naturwissenschaften. The earlier is trying to understand humanity through their works, while the later’s goal is to explain natural phenomena by its rigid mechanical laws. Is scientific theory God’s law itself? The answer is no. Scientific theories is a provisional-theoretical approximations of God’s norm. The norm itself must be distinguished from concrete reality. The norm is universal, while the concrete entities are particular. “While God’s law are universal, creation itself bursts with uniqueness and individuality. While God’s law does order creational life, it leaves room, especially in human life for differing responses. God’s law for our cultural life is a calling to which we respond, not a deterministic force.” (p. 178)

The christian philosophy Walsh-Middleton talking about actually is Dooyeweerd’s cosmonomic philosophy that tried to be non-reductive and radical. More about Dooyeweerd later.

Membentuk Wawasan Kristiani

Summarized from National Youth Convention, August 4, 1999.
By Rev. Hendra G. Mulia
Reprinted from
MOMENTUM Magazine No. 43 - June 2000

Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus.

2 Korintus 10:5 (LAI)

Ayat di atas adalah sesuatu yang dikemukakan oleh Paulus di abad pertama. Dari sini kita tahu bahwa Firman Tuhan tidak menjadi sesuatu yang basi, sesuatu yang out of date, sesuatu yang ketinggalan zaman. Karena apa? Karena pada zaman sekarang ini, justru kita melihat bahwa apa yang dikatakan oleh Paulus tersebut: Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus, adalah satu peperangan yang harus kita lakukan, dan peperangan itu harus dilakukan di sepanjang zaman. Sebenarnya sejak zaman dahulu, Paulus sudah melihat bahwa kita harus mengerjakan apa yang sekarang disebut Christian Mind. Kesadaran yang dimiliki di zaman ini adalah satu kesadaran yang baru muncul setelah beberapa waktu lamanya.

Karena pengaruh zaman, selama ini kita berpikir bahwa pikiran kita memang tergantung pada zaman itu sendiri, yaitu zaman modern. Seseorang di dalam konsep modern, pada waktu melihat sesuatu, mereka melihat bahwa semua yang dilihat ini mesti merupakan sesuatu yang bersifat obyektif. Seorang penulis mengatakan bahwa modern itu di mulai pada tahun 1789, yaitu di saat Revolusi Perancis. Apa yang mereka lakukan pada waktu revolusi itu? Pada waktu itu, dengan Revolusi Perancis, penjara Bastile diserbu, kemudian raja diturunkan. Di saat itulah, dinaikkan apa yang disebut sebagai god of reason, rasio diangkat menjadi allah-allah rasio. Namun pengaruh itu bukan di mulai pada tahun 1789, tetapi tentu telah ada di waktu-waktu sebelumnya. Orang mengambil tahun 1789 supaya bagus; dan nanti post-modern dikatakan terjadi di tahun 1989, jadi genap 200 tahun. Apa yang terjadi di tahun 1989? Tembok Berlin runtuh. Apa artinya? Itu berarti tatanan komunisme yang telah dibangun selama 100 tahun, akhirnya bisa hancur dengan begitu saja tanpa pertumpahan darah. Jangka waktunya dari 1789 sampai 1989, 200 tahun, untuk menunjukkan apa? Untuk menunjukkan itulah masa modern.


Saya ingin mengajak Saudara melihat bagaimana orang modern berpikir. Pada waktu mereka meninggikan rasio daripada manusia. Mereka melihat: pada waktu saya berpikir, maka izinkanlah rasio manusia ini melakukan pemikirannya dan biarlah dia berpikir dengan bebas, janganlah pikiran manusia itu dikuasai oleh hal-hal di luar yang dibutuhkan pemikiran. Contohnya: Galileo menyelidiki apakah bumi itu geosentris atau heliosentris? Apakah sebenarnya kita ini berpikir bahwa kita melihat matahari sebagai pusat atau bumi sebagai pusat? Pada waktu terjadi perdebatan, ada satu perkataan yang
diucapkan Galileo, bahwa sebenarnya sebagai seorang teolog misalnya, hanya mengetahui mengenai bagaimana kita ini go to heaven. Kita hanya mengajarkan bagaimana go to heaven, tetapi kita, sebagai seorang teolog, tidak mengajarkan how the heaven goes? Jadi sejak itu dimulai satu pemikiran untuk memisahkan pemikiran-pemikiran ilmu pengetahuan dengan pikiran-pikiran yang lain.

Pada waktu orang modern mulai berpikir, mereka melihat sesuatu, menyelidiki sesuatu dan sebagainya, maka mereka katakan, biarlah kita berpikir secara obyektif. Pada saat saya melakukan penyelidikan ilmu pengetahuan, jangan biarkan gereja mendikte saya, jangan biarkan teologia mendikte saya, jangan biarkan hal-hal yang tidak berkenaan dengan ilmu pengetahuan itu mendikte saya, maka saya mempunyai kebebasan dalam berpikir, saya mempunyai kebebasan dalam menemukan kebenarankebenaran yang ada di dalam dunia ini. Saya harus diberikan kebebasan, jangan didikte, mesti begini, mesti begitu. Pemikiran-pemikiran yang didikte tidak akan bisa mengalami kemajuan. Itulah pemikiran inti dari zaman modern, karena ada pengaruh-pengaruh filsafat dan sebagainya, tetapi pemikirannya adalah seperti demikian. Kita pun sebenarnya, sampai zaman ini, dididik dengan cara modern, meskipun sebenarnya post-modern sudah muncul, tapi guru-guru di sekolah-sekolah masih tetap berpikiran secara zaman modern. Jadi mungkin, misalnya belajar biologi, kata Alkitab kita diciptakan Tuhan, kata biologi kamu dari monyet! Jadi pemikiran itu tetap merupakan satu pemikiran yang modern. Artinya saya melihat sesuatu, maka izinkan saya melihat dengan obyektif. Jangan biarkan saya melihat sesuatu, lalu kemudian dipengaruhi oleh sesuatu yang lain di luar penyelidikan itu sendiri.


Sekarang muncul post-modern. Post-modern bertanya: pada waktu seseorang melihat sesuatu, apakah dia melihat segala sesuatu itu secara obyektif? Dari penemuan yang dilakukan tentang cara kita berpikir, maka mereka berkesimpulan bahwa kita tidak melihat dengan obyektif, tidak dengan 100% obyektif. Tetapi kata post-modern, justru kita harus berpikir secara subyektif. Bagaimanapun kita mencoba untuk berpikir secara obyektif, tetap selalu akan ada unsur subyektifnya. Satu contoh sederhana: ada seorang pengkhotbah yang sedang berkhotbah. Saya mau bertanya: Saudara tentukan benar tidaknya khotbah tersebut dari mana? Dari apa yang dia katakan? Tentunya semua mendengar apa yang ia katakan. Tapi apa yang ia katakan? Apa yang semua orang dengar? Apa yang dikatakan sama, bukan? Jadi apa? Semua mendengar apa yang ia katakan, bukan? Kalau ia berbicara benar, maka yang kamu dengar apa? Benar. Kalau ia berbicara salah, maka yang kamu dengar, salah. Itu modern bukan? Tapi tidak begitu! Maka, pada seseorang berbicara, saya misalnya, ada sebagian mungkin yang berpikir: "Oh, ini Pak Hendra yang berbicara, pasti benar!" Maka, kalau saya berbicara salah, buat orang tersebut benar atau salah? Pasti benar! Kenapa benar? Karena dia senang dengan saya! Jika ada seseorang yang sudah punya rasa dislike pada saya, maka meskipun saya berbicara yang benar, dia mendengarnya menjadi salah! Jadi kebenaran dan kekeliruan atau kesalahan tidak ditentukan secara obyektif. Kebenaran akan ditentukan oleh apa? Kebenaran itu akan ditentukan dengan persoalan apa? Dengan persoalan like dan dislike.


Jadi sebenarnya kebenaran itu adalah sesuatu, yang sudah dengan susah payah dicoba diberikan atau dipaparkan, dijelaskan tentang kebenaran itu, tetapi kebenaran itu tidak bisa 100% diberikan secara obyektif, sehingga setiap pemaparan yang sudah diberikan secara jelas, secara gamblang, secara betulbetul terperinci satu persatu dikemukakan, bagi dia tidak menjadi suatu kebenaran. Karena apa? Karena ada faktor subyektif, misalnya di dalam hal ini adalah soal like dan soal dislike. Kita melihat bahwa sebenarnya ketika seseorang berpikir, ia tidak pernah berpikir secara obyektif. Orang tidak pernah berpikir secara 100% obyektif, maka kita justru akan bertanya: pada waktu seseorang berpikir sebenarnya hal apa yang mempengaruhi pikiran saya? Kenapa seseorang ini ada unsur subyektifnya? Subyektifnya itu apa? Hal-hal apa saja yang membuat dia berpikir seperti demikian?


Oleh karena itu, pada zaman sekarang kita melihat bahwa sesuatu yang tanpa presaposition adalah sesuatu yang imposible, sesuatu yang tidak mungkin. Setiap orang, pada waktu dia berbicara, berpikir, belajar, mengemukakan pendapatnya; tidak ada satu orang pun yang bisa mengemukakan pendapatnya atau apapun, tanpa presaposisi - atau istilah lainnya asumsi, pre-unddeeerstanding, dsb. Mereka semua berpikir, sebenarnya ada satu landasan pikir. Nah, itulah yang kita pertanyakan. Kalau begitu, kalau saya tidak melihat sesuatu secara obyektif, tetapi saya melihat sesuatu itu secara subyektif, maka hal-hal apa saja yang mempengaruhi saya?


Kita akan membahas bagian ini. Kita akan melihat apakah culture mempengaruhi kita atau tidak. Ada dunia, ada culture. Apakah culture mempengaruhi saya atau tidak? Apakah kamu mendengar lagu pop? Sejujur-jujurnya, kalau mendengar lagu pop senang atau tidak? Karena itu adalah populer culture, maka umumnya pasti populer. Jadi culture berpengaruh atau tidak terhadap kita? Oh, jelas berpengaruh! Mungkin tanpa sadar culture itu mempengaruhi kita. Pada waktu kita setiap hari mendengar kalimat: 'imagine there's no heaven,' maka perlahan-lahan kita mempunyai satu pikiran yang dipengaruhi oleh culture ini. Culture itu akan menjadi satu bagian yang juga mempengaruhi pikiran kita, yang automatically juga akan membentuk kita, meskipun seharusnya kita sebagai anak-anak Tuhan dating dan menggarami culture ini sendiri, sehingga kemudian kita juga dapat berbicara mengenai culture tersebut.


Pada waktu saya belajar ekonomi, hukum, elektro, tehkik, kedokteran; apakah learning itu adalah sesuatu yang terpisah atau menjadi sesuatu yang integrated? Kita lihat lagi sebuah hubungan dengan learning, atau liberal-arts yang kita pelajari dalam perkuliahan, termasuk juga panggilan Saudara atau pekerjaan Saudara, semuanya dipertanyakan di sini. Maka kita bertanya: apakah waktu kita berpikir itu juga mempengaruhi timbal-balik terhadap pekerjaan saya? Apakah pemikiran itu, apakah Christian mind itu mempunyai pemikiran yang timbal-balik antara profesi saya, pekerjaan saya, kegiatan saya seharihari, ataukah itu merupakan sesuatu yang terpisah? Apakah yang namanya menjadi Kristen? Mungkin orang akan berpikir: saya menjadi Kristen itu kalau apa? Kalau saya ke gereja seminggu sekali, maka orang sudah menganggap saya Kristen. Tapi apakah kita betul-betul Kristen hanya dengan satu kali satu minggu pergi ke gereja? Tidak bukan? Maka apa yang kita lihat? Ada integrasi antara pikiran kita dengan learning kita. Kita harus mengintegrasikan seluruh pikiran dan tindakan yang kita buat sebagai sesuatu yang saling berkaitan. Kita tidak melakukan pemisahan ini: ini Christianity, ini liberal art's, ini learning saya, ini occupation saya, di sini agama saya, agama saya adalah agama saya, pekerjaan saya adalah pekerjaan saya, sekolah saya adalah sekolah saya. Saya tidak membawa agama ke sekolah, seperti saya tidak membawa sekolah ke agama. Pada waktu saya belajar biologi, saya diajarkan tentang evolusi. Saya tidak membawa evolusi ke gereja, karena nanti takut pendeta marah, lalu saya tidak boleh ke gereja lagi. Saya juga tidak mengatakan kepada guru saya: "Kata pendeta saya, evolusi itu salah," nanti saya bisa dikeluarkan. Maka demi keamanan dan kesejahteraan hidup di dalam dunia, sejahtera di sekolah dan sejahtera di gereja, saya bias sejahtera di surga, dan saya sejahtera di dunia, itu jalan yang paling baik, bukan? Tetapi kita tidak melakukan pemisahan seperti demikian. Karena apa? Karena seluruh pemikiran yang ada itu harus integrating ke dalam semua action kita sehari-hari.


Sekarang Thinking Christianly atau Christian Mind, atau beberapa orang misalnya memakai istilah yang lebih luas: Christian Worldview (wawasan kristiani), adalah sesuatu yang tanpa saya sadar mempengaruhi pikiran saya, memberikan suatu pemikiran yang bersifat subyektif. Pada waktu Saudara mendengar saya, Saudara mungkin berpikir, "Benar tidak, ya?" Sewaktu Saudara berpikir seperti itu, apakah sadar bahwa Saudara mempunyai satu faktor berpikir yang bercampur dengan pikiran Saudara? Mungkin setelah berbicara dengan yang lain, teman Saudara berkata, "Oh, dia ini berkata begini, begini..." Lho kok teman saya mengerti? Mengapa saya tidak, ya? Pada waktu itu dia baru sadar, kenapa temannya bisa menerima, bisa mengerti, kenapa dia tidak? Pada waktu kita berpikir seperti demikian, itu artinya kita berpikir dengan sub-consiously. Unsur-unsur yang membangun pikiran adalah sesuatu yang mungkin tidak saya sadari bahwa saya seperti demikian. Dalam membangun Christian Mind, kita harus secara sadar membangun Christian Mind itu, tetapi kita akan berpikir bahwa Thinking Christian (berpikir secara kristiani) mungkin tanpa sadar. Sebenarnya seperti demikianlah di dalam operatingnya.


Kita akan memikirkan: apakah isi sebenarnya? Apa yang harus kita isi dalam bagian ini supaya saya boleh berpikir secara Kristen? Kenapa saya harus berpikir secara kekristenan? Jelas! Sebab setiap orang tidak ada yang berpikiran obyektif. Jika demikian, saya adalah seorang Kristen, maka saya harus berpikir secara orang Kristen (thinking cristianly). Apakah ada kemungkinan lain? Misalnya: saya orang Kristen, tetapi saya thinking secularly? Bisa! Justru persoalannya adalah karena hal itu bisa terjadi. Kalau tidak bisa, maka hal ini tidak perlu kita bicarakan. Namun persoalannya justru karena seorang Kristen sangat mungkin berpikir tidak Kristen. Itu sebabnya Paulus katakan: kami menawan segala pikiran, kami menangkap segala pikiran, dan kami menaklukkannya kepada Kristus. Kita harus taklukkan pikiran mereka, kita harus tawan pikiran mereka, supaya pikiran mereka itu ditaklukkan ke bawah salib Kristus. Itu adalah perjuangan yang harus kita lakukan sebagai seorang yang Tuhan berikan kesempatan melayani di gereja. Itu yang harus perlu diperjuangkan seperti yang sudah Paulus katakana sejak abad pertama: kita harus menawan, kita harus menagkap dan harus menaklukkannya ke bawah Kristus. Itu yang harus kita kerjakan. Kita bertanya, "Kalau begitu bagaimana sebenarnya membentuk Christian Mind ini?" Dalam dua dekade ini sebenarnya banyak buku mengenai Christian Worldview, Transforming Our Worldview, dan sebagainya. Ada satu buku yang terkenal dari Blamire. Buku itu menjadi titik tolak, kemudian orang mulai berbicara mengenai Christian MInd, Christian Worldview dan sebagainya, tetapi buku-buku khusus membahas mengenai bagaimana ingredient atau faktor-faktor apa yang menjadi pembentuk Christian Mind ini, sampai saat ini merupakan sesuatu yang belum final.


Apa yang saya ingin kemukakan di sini adalah sesuatu yang saya pikirkan dan saya lihat. Beberapa orang mengemukakan faktor-faktor yang berbeda, maka saya tidak memaparkan lagi tetapi semua halhal yang saya kumpulkan ini akan menjadi faktor-faktor terpenting di dalam membina pikiran kita. Itu merupakan faktor-faktor terpenting yang perlu diperhatikan terutama pada waktu Saudara melakukan diskusi, atau kembali ke gereja masing-masing dan berpikir mengenai program masing-masing. Karena itu yang kita usahakan adalah supaya betul-betul dapat bekerja menawan, menangkap segala pikiran daripada mereka serta menaklukkannya kepada Kristus.


Protestan bermula dari satu titik, yaitu Reformasi. Satu motto dari Reformasi adalah Sola Scriptura. (Bedakan antara Reformasi dan Reformed. Reformasi adalah gerakan yang dipimpin oleh: Luther, Calvin, Zwingli, dsb. yang kita tahu adalah tokoh-tokoh Reformasi, tetapi kalau Reformed, khususnya adalah satu teologia yang tidak dikatakan sebagai teologinya John Calvin, lalu diikut. Saya mempunyai definisi Reformed sebagai a history christianity. Artinya reformed itu bukan sesuatu yang mutlak yang dikemukakan oleh John Calvin, sehingga buku John Calvin menjadi kitab suci yang kedua bagi orang Reformed, itu paling tidak Reformed artinya. Bukan seperti demikian. Reformed adalah a history christianity - kekristenan yang berjalan sepanjang sejarah - memang berdasarkan dari teologia John Calvin, terus berkembang sampai pada zaman sekarang ini dengan tokoh-tokoh Reformed-nya, misalnya Old Princeton, B.B. Wardfield, dan sebagainya, sampai kepada zaman sekarang dan sampai pada waktu yang akan datang di mana pikiran ini akan tetap berjalan sebagai satu christianity yang historis).


Di sini kita berpikir, yang pertama adalah Sola Scriptura, maka yang paling utama pada waktu berpikir pasti adalah bagaimanapun kita harus berpikir biblically - secara alkitabiah. Karena jelas bahwa dasar pada waktu Reformasi adalah Sola Scriptura, maka yang kita pelajari pertama-tama pasti harus berpikir secara biblically. Arti biblical adalah bahwa pemikiran saya adalah satu pemikiran yang harus dikuasai oleh Alkitab. Itulah sebabnya, kalau kita adalah seorang Kristen, tetapi buta Alkitab, kita menjadi sesuatu yang boleh diistilahkan sebagai biblical-illiteracy - tidak mempunyai pengetahuan Alkitab yannggg cukup. Buta Alkitab -biblical-illiteracy adalah satu skandal di dalam gereja. Kalau anak-anak Tuhan dibesarkan di dalam gereja tanpa mempunyai kesukaan, kecintaan kepada Firman Tuhan, maka itu adalah satu skandal di dalam gereja. Ingatlah hal itu! Kita kadang-kadang melaksanakan Persekutuan Pemuda, lebih banyak thinking ammusement - sesuatu hiburan, thinking entertaining - bagaimana menghibur; maka kalau Saudara memberi pengumuman: acara minggu depan, Pemahaman Alkitab, pembicara si-ini, lalu minggu depannya lagi pembahasan film "Bernafas dalam Lumpur" misalnya, yang mana yang akan lebih ramai? Yang 'lumpur' atau yang PA? Yang lumpur! Apa sebabnya? Sebab terus-terang, mereka itu kena pop culture! Maunya yang enteng, yang menghibur, yang enak, yang tidak berpikir. Banyak yang berkata: saya mau yang enak saja. Kenapa menyuruh saya bernyanyi, orang lain saja yang bernyanyi, saya mendengarkan. Maka akhirnya, seperti apa gereja berkembang? Kita mesti membuat yang menyenangkan, yang enak. Akhirnya kita membentuk pemudapemuda Kristen yang biblical illiteracy, yang tidak mengerti kebenaran-kebenaran Alkitab, tidak mengerti dasar-dasar Alkitab. Maka kita boleh yakin, kalau kita berpikir seperti demikian, jangan harap kita mempunyai pikiran yang kristiani. Kalau saya tidak mempunyai satu pergumulan dengan Firman Tuhan, maka jangan harap saya dapat thinking cristianly. Saudara bisa bayangkan, kalau saya berpikir seperti ini, kalau pemimpin-pemimpin gereja zaman sekarang, yang menjadi majelis gereja dan sebagainya, diperiksa, misalnya pengertian Alkitabnya, kemudian pengetahuan Alkitab mereka itu ternyata sangat kurang, apa artinya? Itu adalah skandal gereja. Karena apa? Karena pada waktu dia mengambil keputusan, apakah dia akan mengambil keputusan christianly? Tidak! Apa yang dia pakai? Unsur lain! Kalau dia rapat perusahaan, dia mungkin akan memakai pertimbangan economicaly, hitung untung dan ruginya secara ekonomi. Kalau yang dibawa adalah secular mind untuk mengambil keputusan di dalam keputusan-keputusan penting di dalam gereja, keputusan itu akan dipikirkan dan diputuskan secara secular pula. Jadi misalnya: pemuda mau kamp. Biayanya berapa? Wah, setiap kamp selalu disubsidi besar. Mungkin waktu gereja memutuskan boleh tidak diadakan kamp pemuda, dia akan pikir dari sudut apa? Dari sudut uang, bukan?


Oh, jangan deposito kita yang diambil dong! Bunga bank sedang besar, nih! Kalau mau kamp-nya tahun depan saja, kalau bunga bank sudah 5%, baru kamp pemuda. Sekarang bunga sedang bagus, 60%. Thinking-nya berdasarkan apa? Secara ekonomis, kan! Saya tidak bertaka bahwa kita boleh menghambur-hamburkan uang gereja. Tidak demikian! Maksud saya, pertimbangan yang kita pakai adalah satu pertimbangan yang harus dikuasai oleh Alkitab, maka bagaimanapun sebagai orang-orang Kristen, kita tetap akan bersandar kepada Alkitab. Apakah tidak terlalu sempit kalau kita hanya berpikir secara Alkitab? Tidak! Karena pada waktu kamu berpikir: kalau begitu mari kita berpikir tanpa Alkitab, itupun satu titik pijak yang baru, bukan? Jadi kita selalu ingin menghindar: sempit dong cuma Alkitab saja! Yang lain-lain ternyata juga benar! Mungkin ajarannya Konghucu bagus, begitu misalnya. Orang yang berpikir berdasarkan Alkitab dikatakan sempit sekali, bukan? Kalau kita tidak mau fanatik dan tidak mau terlalu tertutup, mari kita berpikir seusaut yang jangan hanya Alkitab. Ada satu buku yang berjudul "The Closing of the American Mind" Ini adalah buku yang sangat bagus. Tetapi satu prinsip tertulis: Amerika terbuka untuk segala pikiran. Sebab pada waktu mereka - kaum puritan - datang dari Inggris, mereka adalah orang-rang yang waktu itu ditekan di negara mereka, sehingga pada waktu mereka ingin membangun satu negara yang baru mereka katakan: this is a free country. Negara ini negara yang bebas. Kami semua bercita-cita bahwa setiap orang yang datang ke negara ini, dia bebas beragama, bebas menganut agamanya masingmasing, bebas untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing, sesuai dengan bagaimana dia. Kita rasa itu bagus, bukan? The opening mind, berpikir terbuka, berpikir tidak sempit. Tetapi justru dalam buku "The Closing of the American Mind" artinya berbeda. The Openness Means Closing. Apa artinya? Dengan terbuka terhadap semua, artinya justru menutup untuk kebenaran! Bukunya sangat bagus! Ini bukan buku Kristen. Dikatakan, keterbukaan sebenarnya adalah ketertutupan. Pada waktu kita mengambil satu fondasi Alkitab sebagai dasar, maka dengan satu dasar yang benar itu, baru kita membuka wawasan kita. Jadi sebenarnya pada waktu yang pertama pemikiran kita adalah thinking biblicaly dalam hal yang seperti demikian.


Yang kedua: kita harus berpikir secara theologically. Kita berbicara mengenai Alkitab, ya Alkitab saja. Tetapi orang-orang Saksi Yehovah membaca dari mana? Mereka menarik kebenaran dari Alkitab. Apa yang membedakan kamu dengan Saksi Yehovah? Dia membaca Alkitab, malah lebih rajin daripada kamu. Sama, bukan! Asal comot? Siapa yang berkata tidak boleh asal comot? Mereka berkata cara membaca Alkitab, ya dicomot, dong! Lalu kita bertanya: siapa yang menyuruh men-comot-comot? Dia menjawab: siapa yang berkata tidak boleh men-comot-comot? Betul, kan! Mulai kelihatan jelas, perbedaannya di mana! Perbedaannya bukan dalam letak Alkitab, tetapi di dalam letak bagaimana saya membaca Alkitab. Karena berbeda dalam cara pembacaan, maka kita berpikir bagaimanapun tidak hanya sekadar biblical, tetapi teologia kamu apa? Justru itu yang membedakan pembacaan.


Kalau kamu mempunyai teologia Saksi Yehovah, maka kamu akan membaca sesuai dengan Saksi Yehovah. Kalau membaca: "Pada mulanya adalah Firman"; ini obyektif, bukan? "Firman itu bersama-sama dengan Allah"; sama-sama dengan Allah, kalau sama-sama, artinya apa? Tidak menjadi satu, bukan? Kalau saya bersama-sama dengan mikrofon, artinya mikrofon itu sendiri, saya sendiri. Betul bukan? Sekarang misalnya begini: siapakah saya? Hendra. Siapakah aku? Hendra? Saya dan aku bersama-sama, saya di mananya aku, dan aku di mananya saya? Saya ada di mana dan aku ada di mana?


Kalau bersama-sama, tidak mesti identik dan tidak menjadi gabung, bukan? Lalu kemudian: "Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah." Sekarang Saudara bacanya: "Oh..., ya jelas." Kenapa? Firman itu adalah Allah, Allah itu terdiri dari Allah Bapa, Allah Firman sama dengan Allah Roh Kudus, Allah Tritunggal dan tiga-tiganya Allah. Saksi Yehovah tidak membacanya demikian. Kristus, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Kristus, Firman itu adalah Allah: "Allah"-nya itu hurufnya besar, karena apa? Karena LAI yang membuat huruf besar, maka Saksi Yehovah katakan, "Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah (huruf besar), dan Firman itu adalah allah (huruf kecil)" Artinya: Dia adalah Allah turunan dari Allah yang pertama. Allah bukan? Allah! Sama atau tidak? Tidak! Mengapa demikian? Sebab dikatakan bersama-sama, bagaimana bias menjadi sama? Kalau bersama-sama, artinya tidak sama. Karena tidak sama, maka kita bersama-sama, betul bukan? Apa yang membedakan kedua penafsiran ini? Yang membedakan adalah teologinya. Bisa atau tidak membaca Alkitab tanpa teologia? Tidak bisa! Ada orang berkata , "Saya tidak peduli teologiateologia, apa itu teologia Calvin, teologia apapun. Yang penting buat saya Alkitab, dan saya adalah alkitabiah." Kepada orang-orang seperti ini kita boleh katakan, "Kamu mirip saksi Yehovah." Apa sebabnya? Mereka katakan: hanya Alkitab dan Saksi Yehovah juga demikian!


Bagaimanapun saya harus tetap berpikir secara teologis dan teologia saya itu justru menentukan pembacaan Alkitab saya. Jangan Saudara berpikir bahwa Saudara membaca secara obyektif! Yang penting alkitabiah, saya bukan penganut teologia ini, saya teologia alkitabiah. Apa itu Calvin? Saya tidak ikut Calvin, saya ikut Yesus Kristus, katanya! Maka saya ikut Alkitab, teologianya dari Alkitab, teologia dari Alkitab yang mana? Apakah Yesus Kristus mengajarkannya? Oh, mungkin juga dia katakan demikian, "Tuhan berbicara tadi pagi", benarkah demikian?


Bagaimana Christian Mind dikerjakan di dalam berpikir? Pemecahan mengenai culture dijelaskan dengan pengertian apa? Doctrine of Creation, Doctrin of Sin or Fall. Saudara lihat, tadi yang namanya thinking christianly. Lalu bagaimana menghadapi culture itu? Kita pelajari dari Systematic Theology, bukan? Doctrine of Creation, bagaimana melihat culture? Doctrine of Fall, bagaimana melihat culture? Bagaimana Doctrine of Christ and Redemption melihat culture? Maka kita mendapati, teologia adalah satu bagian yang perlu dibentuk untuk menjadi suatu dasar bagi Christian Mind kita. Pada waktu Saudara ingin membentuk Christian Mind, unsur-unsur teologia itulah yang nantinya harus in action untuk menghadapi tantangan dan pertanyaan-pertanyaan zaman.


Yang ketiga: historical. Misalnya, pada waktu Reformasi keluar Marthin Luther dengan the doctrine of Christ. Karena kasih karunia kita diselamatkan dan bukan dengan usaha manusia, kita diselamatkan berdasarkan kasih karunia dan semata-mata oleh pekerjaan Yesus Kristus. Apakah ini teologia baru? Pada waktu Reformasi 1517 menjadi suatu patokan, di mana dipakukan 95 tesis oleh Martin Luther, saya mau bertanya, "Apakah ini teologia baru atau bukan?" Bukan! Lalu teologia apa ini, sampai dimusuhin, lalu kemudian entah siapa yang berkata, orang Protestan bicara, saya protes, maka saya Protestan, ataukah orang Katolik yang berkata, "Protes, protes terus, maka dinamakan Protestan."


Memang betul Protestan dari kata protes, tetapi mengapa protes? Apakah ini sekadar pilihan teologia dalam satu zaman? Tidak! Pada waktu mempelajari sejarah gereja dan sejarah teologi, maka Saudara bisa melihat bahwa apa yang saya percayai di abad ke-20, bahkan apa yang saya percaya memasuki abad ke-21 adalah sesuatu yang dipercayai sejak abad pertama oleh Para Rasul dan orang percaya. Ada satu garis merah yang Tuhan peliharakan sepanjang zaman, sampai Agustinus dan terus sampai kepada John Calvin, lalu terus sampai sekarang; semuanya merupakan sesuatu yang berkesinambungan. Bagaimanapun thinking kita harus historical, artinya tetap mempunyai akar di dalam sejarah. Kalau melihat sepanjang sejarah teologia, mulai teologia liberal, lalu diganti dengan teologia neo-ortodoks, lalu diganti dengan liberation theology, feminis theology, black theology, dstnya; teologia-teologia ini bermunculan kemudian jatuh dan ketinggalan zaman. Maka pertanyaannya, Saudara mau mengikuti teologia yang mana? Teologia yang berawal dari satu garis merah yang jelas dan terus sampai sekarang atau mengikuti teologia-teologia yang sedang ramai dan seru dan kemudian akan jatuh lagi. Namun bagaimana saya membedakan hal ini? Historical itulah yang akan menolong kita! Thinking historical merupakan sesuatu yang perlu.


Keempat: Philosophical. Orang kalau dengar filsafat suka alergi. Filsafat? Yang penting Alkitab, filsafat itu tidak penting! Pada waktu berbicara demikian, orang tersebut sebenarnya sedang berfilsafat, filsafat mengenai apa? Philosophy of knowledge! Sebenarnya ia sedang berfilsafat tentang filsafat. Memang kita bedakan apa yang dinamakan sebagai philosopher's philosophy dengan worldview's philosophy. Philosophers philosophy adalah misalnya filsafat Aristoteles, filsafat Plato, filsafat eksistensialisme, filsafat dari Heidegger dengan fenomenaloginya.Semuanya itu dikemukakan oleh philosophers dan memang kalau bertemu dengan kelompok ini kita mulai bingung dan mereka berbicara membingungkan karena memakai filsafat yang dalam. Sebenarnya setiap kita mungkin bukan philosophers philosophy, tetapi kita adalah seorang worldview philosophy. Misalnya: Ada orang menelpon saya, "Pak, saya mau bunuh diri!" Kalau ada yang berkata: saya mau bunuh diri, artinya mau bunuh diri atau tidak? Tidak! Dia hanya hendak menakut-nakuti saya. Kalau mau bunuh diri, ya silakan saja. Mengapa perlu menelpon lagi pukul 12 malam? Saya berpikir, "Bagaimana ya, sudah pukul 12 malam. Dia mau bunuh diri. Apakah saya harus berlari ke tempatnya, atau tidak? Lagipula kalau dia berkata mau bunuh diri, artinya tidak bunuh diri, maka saya membuat shock theraphy. Saya menjawabnya, "Oke, silakan. Tapi sebelumnya, boleh tidak sebelum melakukannya saya bertanya satu hal? Apakah setelah bunuh diri, kamu yakin persoalanmu selesai?" Ia menjawab, "Pak, saya sudah bosan. Dunia ini brengsek, penuh penderitaan, saya tidak mau lagi di dunia." Saya katakan, "Tahu dari mana? Kamu belum pernah mati, bukan? Kamu tahu dari mana? Saya mau tanya, begitu kamu mati, kamu pikir enak seperti minum ecstacy? Kamu tahu dari mana?" Dia marah. Mungkin dia berpikir: pendeta ini memang kurang belas kasihan, bukannya menghibur, malah makin menjatuhkan. Lalu ia berkata, "Bapa juga tahu dari mana kalau mati itu nanti susah? Bapak juga belum pernah mati!"


Orang mau bunuh diri saja masih begini pintar! Luar biasa! Tapi Saudara lihat, permasalahan yang sedang dibicarakan itu sebenarnya apa? Sedang berbicara tentang epistemologi, bukan? Tahu dari mana bahwa apa kamu tahu itu adalah sesuatu yang benar? Itu adalah epistemologi. Tahu dari mana kalau kamu mati, lalu kamu akan lepas dari segala kesusahan? Itu epistemologi. Dan orang itu membalasnya dengan epistemologinya: "Bapak juga tahu dari mana bahwa nanti kalau mati, saya susah? Bapak juga belum pernah mati, bukan?" Waktu itu saya berpikir, "Celaka saya! Saya pancing ke sini, malah saya diberikan pertanyaan susah seperti ini. Tapi dalam waktu singkat, saya mengucap syukur kepada Tuhan yang memberi saya pikiran, "Ya, saya memang belum pernah mati, tapi Yesus pernah mati, Dan karena Dia pernah mati dan bangkit lagi, Dia memberi tahu saya, kalau mati itu seperti begini, begini. Jadi saya percaya pada Yesus. Saya memang belum pernah mati, tapi Dia pernah mati." Lalu sehabis mendengar hal itu, ia berkata, "Ya, sudah! Besok saya telpon Pak Hendra lagi!" Sampai sekarang orang tersebut belum mati. Saudara lihat orang itu sudah berpikir secara philosophy, tanpa mengerti bagaimana filsafat Aristoteles itu, tanpa mengerti bagaimana filsafat Socrates itu. Dia tidak mengerti, tapi waktu berpikir ia berpikir filosofis. Maka yang disebut philosophycal bagaimanapun tetap harus berpikir, artinya kita tidak berpikir sembarangan, tetapi betul-betul kita mempunyai satu pemikiran yang bersifat lebih mendalam.


Yang kelima adalah ethical. Hasil dari teologia, kalau hanya sekadar berhenti di dalam teologia merupakan sesuatu yang kering, menjadi sesuatu yang tidak berguna. Maka dalam hal ini kita tetap berpikir bagaimana teologia dan Alkitab yang kita punyai, integrated dengan filosofi yang kita punyai pula. Hal itu kemudian akan menjadi suatu permunculan yang bersifat etis. Secara singkat kita katakan: etika itu pasti harus berlandaskan kepada Alkitab. Yang kedua, etika bukan sekadar mengarah pada pengambilan keputusan, tetapi etika harus mengarah kepada pembentukan karakter. Tujuan dari etika bukan sekedar: aborsi, boleh tidak ya? Oh, tidak boleh! Kalau saya diperkosa, saya boleh aborsi atau tidak? Tidak sekadar hanya boleh atau tidak, tetapi tujuan utama dari etika sebenarnya adalah shipping our character, jadi kita harus berpikir secara ethical. Dan yang terakhir, yang keenam adalah: esthetical, berpikir estetis. Misalnya demikian, dalam kebaktian kita boleh menyanyikan lagi gereja yang pop atau tidak? Tergantung pada culture-nya. Pada saat kita menyanyi, menjadi batu sandungan atau tidak? Tapi misalnya, sewaktu kita menyanyi, apanya yang harus diperhatikan? Liriknya. Saya pikir ada benarnya juga, tapi kalau setiap lagu ditarik secara teologis, akhirnya semua lagu tidak boleh kita nyanyikan. Teologinya salah-salah. Tetapi thinking christianly bukan hanya sekadar melihat salah atau benarnya, tetapi kita juga berpikir secara esthetically. Sewaktu kita thinking esthetically, mungkin tidak memasuki katagori estetik. Misalnya: lagu Malam Kudus, bagus tidak? Bagus! Apanya yang bagus? Estetikanya. Lagu ini tahan selama berapa tahun? Katakanlah 150 tahun. Selama 150 tahun menggerakkan setiap orang Kristen di dalam sepanjang zaman, di dalam setiap Natal, lagu itu bisa menyentuh hati setiap orang Kristen. Meskipun pada waktu diciptakan sebenarnya orang gereja pada waktu itu agak marah. Karena apa? Karena orgel gereja rusak, jadi mesti bernyanyi diiringi dengan semacam gitar, dan lagunya tidak bisa yang susah-susah, bukan? Maka akhirnya dipilih satu lagu sederhana tersebut yang dimainkan pada hari Natal dengan iringan sederhana.


Ketika saya di SAAT, pernah terjadi peristiwa sepert ini: di satu kebaktian, tidak ada dosen yang hadir. Karena tidak ada dosen yang hadir, para mahasiswa menjadi iseng. Khusus pada persekutuan itu lagunya tidak ambil dari PPK (Puji-pujian Kristen), tapi diambilnya dari buku sekolah minggu. Lalu mereka yang pimpin kadang-kadang seperti guru sekolah minggu yang iseng. Sewaktu ditanya mau nyanyi nomor berapa, maka mahasiswa lain juga iseng menjawab nomor 57. Begitu dibuka lagu apa? Lagu Malam Kudus, nyanyinya di bulan Agustus. Dalam waktu beberapa detik, dia harus memutuskan, mau menyanyikan lagu ini atau tidak? Akhirnya, lagu itu dinyanyikan. Lagu Malam Kudus kita nyanyikan pada bulan Agustus. Ketika semua membuka nomor 57: Malam Kudus, mereka semua langsung tertawa, tetapi terus dinyanyikan. Mulanya kami tertawa, namun terus bernyanyi. Akhirnya semua sepi, lagu menjadi tenang. Karena apa? Karena pengaruh lagu! Karena bagaimanapun sepanjang zaman, sepanjang tahun kita nyanyikan, tidak akan ada kebosanannya, ada sesuatu yang menyentuh kita. Pada waktu kita bermalam Natal, itu bukan merupakan satu kebiasaan saja, bukan? Tetapi estheticaly, berbicara ke dalam hati kita yang diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah, menyentuh estetika yang diberikan dan dianugerahkan oleh Tuhan kepada masing-masing kita, sehingga kita merasakan estetika, keindahan, the beauty dan lagu tersebut.


Sewaktu mencipta, Tuhan melihat ciptaan-Nya ini baik adanya, artinya sesuatu indah. Jelek itu akibat dari apa? Itu adalah akibat dari dunia yang jatuh ke dalam dosa. Yang jelek di hadapan Tuhan bagus, yang tampan, cantik, di hadapan Tuhan bagus. Tuhan lihat apanya yang sama? Hatinya. Kalau Tuhan melihat yang cantik, tetapi hatinya busuk luar biasa, bagi Tuhan itu tidak baik. Tuhan lihat hatinya. Orang yang jelek, tapi bersih, baik, lembut, Tuhan lihat baik atau tidak? Baik, tapi dia jelek atau tidak? Tetap jelek. Saudara ingat begini, di dalam dunia yang berdosa, ada tidak yang jelek? Tetap ada, karena dunia adalah dunia yang jatuh ke dalam dosa. Tetapi puji Tuhan, ada the Doctrin of Christ and Redemption.


Thinking Christianly
bukanlah sesuatu, yang saya katakan, sebagai sesuatu yang kita sadari. Kita automaticaly berpikir karena itu dibentuk secara sadar. Dengan demikian kita menangkap pikiran dunia dan menaklukkannya ke dalam kebenaran-kebenaran Firman Tuhan, kebenaran-kebenaran Kristus.

Chosen in Christ

Chosen in Christ: Election and Trinity
September 26, 2003
By Peter J. Leithart,
www.leithart.com

Introduction

Scripture teaches that God does all things according to the purpose of His will (Ephesians 1:11), and that the God who does this is the Triune God. How are those two teachings of Scripture related? How does the doctrine of the Trinity shape our understanding of election? How does a Trinitarian doctrine of election help us to avoid determinism? How can a Trinitarian doctrine of election make election a comforting rather than a terrifying doctrine?


Historical Background


Calvin has a Christocentric oriented notion of election, which means that his teaching on election was given a Trinitarian shape. Richard Muller says that "Calvin will not allow reference to a God who decrees salvation eternally apart from a sense of the Trinitarian economy and the effecting of the salvation in the work of the Son of God incarnate." Calvin, in short, did not advocate a philosophical notion of "determinism," as a deduction from some abstract notion of "sovereignty."

As Muller has explained it, this has at least two implications for Calvin's understanding of election: First, it means that Christ is the object of election, for in the depths of the Trinitarian life the Son is determined as the mediator and savior, and as Head of the elect. Second, Christ is the subject of election, that is, Christ Himself as the Son is the one who elects, who chooses. The Son's manifestation in flesh is thus the manifestation of election, of God's choice, since Jesus is both the God who elects and the Man who is elected. In Christ, God has displayed His saving purpose and will in the world, His choice to reconcile mankind to Himself. To consider election, then, is simply to consider Christ. To trust in Christ is to discover God's choosing. Christ is the "mirror" of election. To be in Christ is to be in the Elect One, chosen in the Beloved by the Beloved. Christ, the whole Christ, Head and body, is the content and goal of election. (It is intriguing to note that the question of the Son's aseity was one of the initial points of conflict between Arminius and the Reformed.)

According to Robert Jenson's account, this is Edwards's doctrine as well. For Edwards, the decree to elect includes everything. The final end of creation is the Son's self-communication, so that the Son's election as the head of creation is the chief and primary content of the decree. As in Calvin, the decree is simply the decree regarding Christ.


This biblical and Pauline notion that predestination is predestination in Christ was never completely abandoned in Reformed theology, in particular in those Reformed circles where the notion of a pactum salutis retained its currency. By this doctrine, there is a covenant between the Father and Son in eternity that is worked out in the covenant of grace. This at least places Christ in the midst of the eternal decrees, although He tends to function merely as a means to an end.


Biblical Ground


Does the NT support this Trinitarian treatment of election? Clearly, Yes. First, Scripture reveals that Jesus is the "chosen servant" (Matthew 12:18), the true Israel (Acts 13:17; cf. Deuteronomy 7:7), though mocked by Israel as the rejected one (Luke 23:35). Jesus is the paradigmatic "foolish thing" chosen by God to "confound the wise" (1 Corinthians 1:27). Second, it is also clear that we are chosen in the chosen One. In one of the clearest passages on election, Paul explicitly states that God "has blessed us in Christ with every spiritual blessing in the heavenly places, even as He chose us in Him before the foundation of the world" (Ephesians 1:4). In a number of places, third, Jesus speaks of Himself as the one who "chose" His disciples (John 6:70; 13:18; 15:16, 19), and the scenes of choosing the apostles provide further illustration of this point (Luke 6:13). Jesus is the Elector as well as the Elected.


The Prologue to John's gospel, further, points to the incarnation as the entry into the world of God's decree, His election. In the first verses, the "Word" is identified as One who has been "with God" from the beginning, and "was God." The phrase "in the beginning" points to John's use of Genesis 1. This is the Word by whom all things were created (John 1:3), and this is the Word that governs all things. If John is using logos with reference to its Greek philosophical sense, much the same result follows: Jesus does what Greek philosophers believed the logos did i.e., ordering and arranging creation and moving history toward its consummation. John explains the logos by reference to Jesus, not Jesus by reference to the logos. According to John 1:14, this arranging, ordering, predestinating Word has now become flesh in Jesus the Christ. God's electing and governing Word is manifested in history. God's fullness of good pleasure, His electing grace, took bodily form in Jesus (Colossian 1:19), and in Him the hidden mystery of God's choice was manifested (Ephesians 1:7-10; 3:8-9).


Barth on Christ and Decree

Even where the pactum salutis was emphasized, something of the Christological focus of Calvin's predestinarian theology was lost in later Reformed theology. That, at least, has been powerfully argued by Karl Barth, and can be seen in the work of popular Calvinistic writers like Lorraine Boettner, who (strangely) seems to see some commonality between Calvin's doctrine and Islam and other forms of determinism.


According to Barth, when the decree loses its Christological focus, a gap emerges between a fundamental decree regarding predestination and reprobation and the "functional" decree to save in Christ. Christ becomes an instrument for carrying out that more basic decree, but He is not identified with the content of that decree. Eventually, the hidden decree, which hovers behind Christ, becomes the real one, and the real God is not the one revealed in Christ Jesus, but a hidden God who has even now not been revealed. The revelation of God in Christ becomes only a relative truth about God. Even when Christ was brought forward as the speculum electionis, the question remained of whether there was perhaps some election that was not evident in Him. As Barth puts it,


Is it the case, in fact, that behind the pastoral . . . truth that God's election meets us and is revealed to us in Jesus Christ, there stands a higher truth which, for the sake of prudence and charity, must be withdrawn from the practical usage of the church, a truth which cannot be denied or entirely suppressed, but which is so dangerous that it must be covered over and kept out of reach of the curious like a poison? Is it the case that, according to this higher and dangerous truth concealed for practical purposes in the background, while Christ is indeed the medium and instrument of the divine activity at the basis of election, and to that extent He is the revelation of the election by which factually we must hold fast, yet the electing God Himself is not Christ but God the Father, or the triune God, in a decision which precedes the being and will and word of Christ, a hidden God, who as such was made, as it were, the actual resolve and decree to save such and such men and to bring them to blessedness, and then later made, as it were, the formal and technical decree and resolve to call the elect and to bring them to that end by means of His Son, by means of His Word and Spirit? . . . Is it the case that the decision made in Jesus Christ by which we must hold fast is, in fact, only another and a later and subordinate decision, while the first and true decision of election is to be sought . . . in the mystery of the self-existing being of God, and of a decree made in the absolute freedom of this divine being? (Church Dogmatics, II.2, pp. 63-4).

As Barth emphasizes, the practical and pastoral implications of the detachment of election from Christ are devastating. The purpose of the Reformation treatment of election as a Christological concern was to challenge the abstract, speculative, and mystical effects of the non-Christological election of medieval theology. If election is separated from Christ,


How . . . can we have attained to any sure knowledge of this relationship? How can we be certain that it is good to be so fully in the hands of God as we are proclaimed to be when we assert that God elects? . . . It is against this uncertainty that Reformation theology sought to protect itself by its thesis that Jesus Christ is the speculum electionis ["mirror of election"]. The reference to the person of the Mediator and the Word and self-revelation of God was intended to liberate reflection on this subject from the inevitable tendency to lose itself in a sphere inaccessible by its very nature to human effort, a sphere which allows only of assertions which cannot sustain us because they are never more than our own assertions. . . . What can sustain us is the declaration which God Himself as Creator and Lord of life and death has made in our favour in Jesus Christ. When we let ourselves be taught by the Word of God and the Spirit of God, then we can be sure of the divine election. . . . We can and should rejoice in God and in ourselves because we can see God's electing and our election at the place where God Himself has revealed it, in the Word of God made flesh (Church Dogmatics, II.2, pp. 64-65).

Conclusion


For much Calvinism, the decree of God had become detached from its origin in Christ and its accomplishment in Christ. Detached from its Trinitarian context, election loses its most important pastoral benefits. Many Reformed Christians do not find in election what Calvin found comfort, assurance, encouragement, refreshment, but instead vertiginous and abyssal terror. If election is to have the same power it had in the Reformation, and if it is going to be seen as integral to the gospel, it must be seen as a Trinitarian election. As Barth said, "The doctrine of election is the sum of the Gospel because of all words that can be said or heard it is the best: that God elects man; that God is for man too the One who loves in freedom."