Friday, October 10, 2008

Malu

By Agus Suprapto

”Malu (aku) jadi bangsa Indonesia”, merupakan judul buku kumpulan seratus puisi Taufiq Ismail. Malu? Mengapa malu? malu ketika mendapati bangsa-bangsa tetangga yang senasib telah mengatasi badai moneter, sementara negeri ini masih terus menikmati praktek-praktek yang tidak beradab? Juga malu ketika negara ini juga tidak kunjung menorehkan suatu prestasi yang membanggakan diberbagai bidang? Lihat saja, bagaimana Ishak Rafick memaparkan kepada kita bagaimana negara ini sudah kehilangan kedaulatannya sebagai bangsa merdeka yang berdaulat diberbagai bidang (baik politik, teritorial dan ekonomi), dan bagaimana Dr. Kwik Kian Gie dengan begitu cermat menganalisa bahwa berbagai permasalahan di negeri ini karena korupsi, bukan hanya didalam aspek perilaku, tetapi sudah sampai pada pikiran yang terkorupsi. Dan saya percaya masih banyak lagi yang bisa kita kemukakan untuk mencari alasan kenapa kita malu dengan bangsa ini, itupun kalau rasa malu itu masih ada....

Inikah jawaban kenapa nasionalisme itu tidak ada lagi pada diri kita?

Tapi disisi lain, kita juga melihat bagaimana ada sekelompok yang menaruh keprihatinan terhadap hal ini dan dengan mengebu-gebu meneriakkan ”nasionalisme” sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dan ditanamkan di dalam setiap hati bangsa ini, bahkan cenderung mulai mengkritik kelompok lain yang dianggap tidak memiliki nasionalisme ketika memilih pindah dan berkerja di luar negeri misalnya. Sementara disisi lain, Sekjen PDIP Pramono Anung pernah berkata: ”...kita harus membedakan antara apa itu nasionalisme dan apa itu urusan mencari makan sesuap nasi di negara tetangga....” Lalu apakah sebetulnya nasionalisme itu? Dan bagaimana kita sebagai orang Kristen memandang hal ini? Apakah patriotisme itu merupakan suatu berhala lain? Bukankah kita (orang Kristen) hanyalah seorang musafir di dunia yang sementara ini? Bukankah kita ini adalah warga negara surga dan bahwa Indonesia adalah bagian dari dunia yang sementara itu? Jikalau memang benar demikian adanya, lalu kenapa Tuhan menempatkan kita di negara yang namanya Indonesia ? Apakah ini semata kebetulan saja ? Lalu apa relevansinya hal ini dengan mandat injil dan budaya yang kita anut (khususnya di negara ini)?

Nasionalisme
Definisi ilmiah yang paling sering dipakai mengenai nasionalisme adalah yang dibuat oleh Ernest Gellner. Ia merumuskan nasionalisme sebagai doktrin bahwa unit politik (the state) dan unit budaya (the nation) harus berimpit (should be congruent). Ini berarti bahwa Negara, yang merupakan organisasi pelaksana kekuasaan yang berdaulat atas suatu wilayah, harus memerintah atas nama dan demi kepentingan suatu bangsa tertentu (a particular nation), yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki budaya yang sama.

Jadi menurut pandangan ini, bangsa diartikan sebatas orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama.

Pandangan ini menurut Jack Snyder memiliki banyak kelemahan, mendefinisikan nasionalisme semata-mata dalam pengertian sebudaya tampaknya bakal menyingkirkan dari dalam definisi nasionalisme kesetiaan militan terhadap lembaga-lembaga politik Negara atau berbagai prinsip lain yang tidak berdasarkan budaya.

Bung Karno, sang proklamator itu sendiri memiliki pengertian bangsa bukan sebagai kesamaan latar belakang budaya, dan menolak definisi bangsa hanya dipandang dari sisi biologis semata, tetapi lebih memilih memandang bangsa dari segi sosiologis, yaitu suatu bangsa didasarkan pada komitmen bersama sekelompok orang yang punya nasib sama dan berjuang bersama untuk mencapai kepentingan bersama. Saya sependapat dengan pandangan Bung karno dan Jack Snyder dalam hal ini.

Lalu bagaimana nasionalisme itu berkembang di negara Indonesia... dan bagaimana kaitannya dengan sejarah kekristenan di Indonesia...

Kekristenan dan Nasionalisme Indonesia
Sesuatu yang terhilang....

Hari ini kita hidup di tengah masyarakat Indonesia yang cita kebangsaan/nasionalismenya disebut berada di titik nol oleh Sophan Sophian (tokoh nasionalis). Pada banyak kesempatan, saya menyempatkan berdiskusi dengan sesama umat nasrani mengenai nasionalisme, dan saya menemukan berbagai pandangan, yang paling menonjol adalah agenda nasionalisme tidak pernah mendapat prioritas, bahkan mungkin tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Berbagai alasan diungkapkan, dari diskriminasi kelompok mayoritas dan minoritas, perlakuan tidak adil pemerintah terhadap berbagai kehidupan beragama, terlalu bosan untuk melihat perilaku kaum eksekutif, legislatif dan yudikatif yang tidak beradab, sampai mungkin secara tidak sadar terlalu menekankan ajaran bahwa kita ini hanyalah seorang musafir di dalam dunia yang fana ini.... Yang semuanya mengkerucut membentuk kekecewaan dan ketidakperdulian terhadap bangsa dan negara ini.

Sejarah Kelam “Kekristenan“ di Indonesia
Pada kesempatan ini, saya akan memaparkan sedikit mengenai sejarah Indonesia khususnya dikaitkan dengan perjalanan perkembangan kekristenan.

Kita harus akui sejarah Indonesia memberikan kesan bahwa kekristenan identik dengan agama penjajah, agama kompeni, agama yang menindas bangsa Indonesia.Sejarah membuktikan bagaimana kerakusan negara-negara penjajah itu memeras, merampas, menindas negeri ini selama 350 tahun. Keganasan imperialisme dan kolonialisme itu meninggalkan kesan mendalam yang tidak mudah dihapuskan dari bangsa ini. Banyak tulisan akan memberitahu kita bahwa orang belanda memakai istilah ”inlander” yang artinya kera-kera penghuni suatu pulau, untuk dirujuk kepada bangsa Indonesia, bangsa jajahan saat itu. Kera! Monyet! leluhur kita dikera-kera kan oleh belanda sampai mereka percaya bahwa mereka memang serendah kera. Kekeraan itu kemudian mereka wariskan kepada kita yang sampai saat ini tetap memandang rendah kebangsaan kita dan Cuma pintar jadi kera peniru bangsa asing saja.

Kemarahan ini mendorong R.A. Kartini berkata : ”orang terlalu sering lupa, bahwa ”negeri kera yang brengsek” itu telah mengisi beberapa saku kosong (orang belanda) dengan emas, kalau mereka pulang ke tanah air (Belanda) setelah tinggal disini beberapa tahun.”

Bagaimana mungkin negara yang dahulunya berlandaskan kekristenan mempraktekkan imperialisme dan kolonialisme yang keji itu?

Bagaimana semuanya itu terjadi?

Dahulu, sebelum abad ke-10, boleh dikatakan bangsa Eropa hidup dalam kebodohan dan kegelapan, sampai-sampai disebut barbar oleh sesama kulit putih, bangsa Yunani dan Romawi. Tidak ada peradaban tinggi yang mereka hasilkan, tetapi sewaktu Injil masuk, maka peradaban mulai berkembang, setelah 5 abad, mereka mulai melesat meninggalkan bangsa-bangsa lain, Puncaknya adalah peristiwa besar pada abad 16 : Pemampangan 95 dalil oleh Martin Luther di Wittenberg yang menandai kelahiran gerakan protestan. Dalil-dalil itu menepis segala kebodohan, membuang segala takhyul, Alkitab kembali ditaati dan dijunjung tinggi. Johannes Calvin tampil setelah Luther dan merumuskan ajaran Protestan yang lebih sistematis. Etos kerja kekristenan dibangun dan hasilnya bangsa-bangsa eropa mencapai kejayaan yang mencengangkan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya kita melihat bagaimana kemudian bangsa-bangsa ini menjadi durhaka dan anti Allah. Kekenyangan berkat justru mencetuskan ribuan hujatan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cotton Mather, pendeta puritan di awal negara AS, meratap: ”Agama melahirkan kemakmuran, lalu anak perempuan itu membunuh ibunya.” Lalu kita menyaksikan bagaimana bangsa-bangsa barat memakai kekuatannya untuk menjajah bangsa-bangsa lain. Setelah masa penjajahan berlalu, mereka pun masih memakai kekayaannya untuk memasung bangsa-bangsa lain secara ekonomi (dalam hal ini Ishak Rafick bersama Dr. Kwik Kian Gie menggambarkan dengan begitu baik, bagaimana kejatuhan Indonesia didalam krisis moneter yang tidak kunjung pulih juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai manuver bank dunia, IMF, dan negara-negara G 7).

Sebab itu banyak orang (termasuk Max Weber (1864-1920), pakar kemasyarakatan asal jerman) menuding Calvin sebagai pangkal segala keburukan yang timbul dari kapitalisme ini. Tentu saja tudingan itu wajib ditangkis. Tentu tidak adil kalau kesalahan diletakkan pada Calvin atau etika kristen. Kesalahan seharusnya diletakkan pada manusia-manusia berhati serakah yang gemar memakai apa yang baik untuk tujuan yang tidak baik. Falsafah ekonomi Calvin bukanlah falsafah mencari laba tetapi falsafah pelayanan. Calvin membangun dasar bagi etika kerja yang begitu efisien, kalau kemudian kejayaan yang diperoleh dipakai beberapa orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri, itu adalah penduniawiaan, bahkan pemutarbalikkan ajaran Calvin.

Tetapi apakah bangsa Indonesia mengerti hal ini, ditengah rendahnya pendidikan mereka sebagai bangsa jajahan, yang mereka tahu, agama kristen masuk bersamaan dengan bangsa penjajah yang masuk dan memeras mereka.

Bukankah saat Abraham Kuyper menjadi Perdana Menteri, saat itu negaranya masih menjajah negara ini ? Memang saat itu Abraham Kuyper memelopori ”politik balas budi” untuk bangsa Indonesia, tetapi pertanyaannya apakah itu memberikan perubahan yang signifikan? Kita melihat bagaimana susunan dan tata kelas masyarakat yang dibentuk oleh Belanda (bahwa Belanda adalah kelas 1, China kelas 2, Pribumi kelas 3 ) memberikan implikasi yang panjang. Kejadian kerusuhan Mei 1998, dan bagaimana diskriminasi etnis Tionghoa dengan berbagai permasalahannya tidak bisa dilepaskan dari akar masalah di sistem kelas yang diciptakan Belanda. Pola pikir ini terus dikembangkan pada zaman Suharto, menimbulkan kekecewaan mendalam pada kaum minoritas (dari kasus SKBRI sampai hak hidup dinegara ini). Kekecewaan mendalam ini memberikan efek lingkaran setan yang terus memperlebar jurang perbedaan diantara minoritas dan mayoritas.

Bukan maksud saya untuk membangkitkan kembali kebencian itu, tetapi saya ingin menunjukan bahwa kita kaum kristen tidak terlalu memiliki modal start yang baik di negeri ini.Ketika kita dipanggil untuk menjalankan mandat injil itu, ini sedikit banyak menimbulkan kesulitan. Harapan saya dengan mempelajari sejarah ini, memberikan perspektif yang lebih lengkap dan luas mengenai negara ini dan memberikan kita bijaksana untuk mengambil sikap dalam hal ini.

Sebagaimana alkitab adalah kitab yang jujur mengungkapkan apa adanya tentang bangsa israel dan tokoh-tokoh iman didalamnya. Dengan segala keteladanan dan keberdosaan mereka, bukan dengan maksud untuk dihina tetapi karena ada sesuatu yang Tuhan mau kita belajar didalamnya.

Sebagaimana Nancy Pearsey didalam bukunya ” Total Truth” menceritakan bagaimana ”gereja” melakukan kesalahan didalam menanggapi kasus Galileo Galilei dan Copernicus mengakibatkan dikotomi Iman dan sains ( ilmu pengetahuan ), Maksudnya adalah bukan untuk mendeskriditkan kekristenan itu sendiri tetapi melalui sejarah, kita bisa belajar bagaimana kita harus bersikap di masa kini.

Ketika kita sudah terlalu kecewa dengan berbagai perlakuan diskriminatif dan tidak adil oleh pemerintah, maka saya ingin mengatakan bahwa bangsa jangan disamakan dengan pemerintah atau rezim. Pemerintah adalah sekelompok orang yang memegang tampuk kekuasaan atas suatu bangsa, sedangkan bangsa adalah seluruh manusia dalam bangsa itu, termasuk orang-orang pemerintahannya. Pemerintah hanyalah unsur kecil dari bangsa (meskipun menjadi penentu banyak hal). Orang-orangnya bisa berganti, ideologinya bisa bertukar, kebijakan-kebijakannya bisa berubah, tetapi bangsa tetaplah bangsa. Memang kita akui bahwa pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan, tetapi masakan bangsa Indonesia secara keseluruhan yang harus menganggung dakwaan kita? Saya sering mendengar Gus Dur berkata bahwa ” majority is silent ”, artinya tidak selalu kebijakan pemerintah itu sinkron dengan kehendak bangsa secara keseluruhan. Nasionalisme saya bukan mengacu pada suatu rezim atau pemerintahan, tetapi mengacu kepada konsep bangsa.

Lalu apa hubungannya semua ini dengan kekristenan? bukankah kita ini hanyalah seorang musafir ditengah dunia yang fana ini, bahwa kita orang percaya adalah warga negara surga?

Pertanyaan ini membutuhkan penjelasan yang panjang, karena yang terjadi disini adalah kekeliruan cara pandang yang mendasar. Tetapi penjelasan J.I Packer dibawah ini sangat baik: ”Paradoks dalam kehidupan kristiani adalah bahwa semakin seorang percaya tertarik pada perkara surgawi, semakin dalam ia menaruh perhatian agar kehendak Allah digenapi didunia ini.”

Samuel Tamunggor memberikan kita sisi lain ini.

Mari kita bercermin kepada negara Korea. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1970-an hanya ada 5% warga korea selatan yang beragama nasrani. Hari ini, lebih dari seperempat abad kemudian, jumlah itu meningkat menjadi 49% betapa pesatnya! Apa kiatnya? Dr. Anne Ruck di dalam bukunya ”Sejarah gereja Asia memberikan penjelasannya: ”Dari permulaannya gereja mendukung serta mengembangkan kebudayaan khas bangsa Korea, sehingga kekristenan dianggap mendukung pergumulan bangsa korea. Berbeda dengan gereja di negara-negara lain, gereja Korea tidak disamakan dengan penjajah. Kekristenan di Korea tidak pernah berkaitan dengan imperialisme barat, tetapi berkaitan erat dengan nasionalisme Korea....”

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan ini, tetapi saya tahu ada hal penting yang ingin disampaikan didalamnya, saya pun berharap kita bisa menangkapnya.

Bukankah awal dari setiap kebangunan rohani di setiap negara, itu bermula dari kepedulian kita terhadap negara tersebut. Benar bahwa dibalik setiap kebangunan itu Allah yang berkehendak, Allah yang berkarya, dan Tuhan mengerakkan setiap anak-anakNya untuk giat menginjili. Tetapi mungkinkah kita punya hati untuk menginjili kalau kita tidak punya kepedulian terhadap bangsa ini? Tidak mengasihi bangsa yang besar ini? Bukankah disaat minoritas itu melebur menjadi satu dengan mayoritas, maka saat itu tidak ada lagi dikotomi mayoritas dan minoritas?

Tetapi ketika kita mendengar bahwa ada sekelompok orang yang terlalu menganggung-agungkan nasionalisme mereka, apakah betul nasionalisme itu netral dan bebas nilai? Apakah benar seorang nasionalis itu pasti Alkitabiah? lalu bagaimana seharusnya kekristenan bersikap mengenai ini?

Suatu kali didalam kesempatan yang sangat langka, ketika FIRES diberi kesempatan bertemu dengan Pdt. Dr. Stephen Tong, saya bertanya tentang: ” Bagaimana gerakan ini memandang nasionalisme ?” Beliau menjawab: ”Ketika kita memiliki nasionalisme sejati, maka saat itu kita menerima segala perbedaan.” Jujur, saya tidak mengerti perkataan itu, mungkin lebih tepatnya jawaban itu tidak sesuai dengan harapan saya. Jawaban itu tidak se”patriotik” yang ada di kepala saya, yang sudah sejak lama diisi dengan konsep nasionalisme karismatiknya bung Karno. Di dalam kenaifan saya yang mengira bahwa nasionalisme itu obyektif, bebas nilai dan netral, dan sudah seharusnyalah bahwa setiap orang Kristen memiliki konsep nasionalisme yang saya anut. Sampai pada suatu kali Tuhan membuka mata saya mengenai hal ini.

Nasionalisme, Politik, dan Negara

Belantara Worldview Di Dalamnya
Akhir-akhir ini kita melihat bagaimana beberapa tokoh nasional mengunakan label nasionalisme untuk mencari dukungan massa pada pemilihan presiden di tahun 2009. Terdengar begitu patriotik dan begitu simpatik, tetapi sesungguhnya sarat dengan kepentingan elit politik tertentu. Inilah yang diungkapkan oleh Jack Snyders, bahwa nasionalisme sering dipakai oleh elite politik tertentu untuk mencapai kepentingannya sendiri. Dia mencontohkan bagaimana proses nasionalisme revolusioner di Perancis, nasionalisme kontra revolusioner di Jerman, nasionalisme sipil di Britania Raya sampai ke nasionalisme SARA di Rwanda, keseluruhannya tidak lepas dari berbagai peranan elite politik didalam memperjuangkan kepentingannya sendiri.

Konsep nasionalisme yang sempit seringkali justru membawa sikap bermusuhan dan berujung dengan peperangan antar negara. Ini langsung menyadarkan saya mengenai jawaban Pdt. Dr. Stephen Tong atas pertanyaan saya.

Nasionalisme didalam prakteknya didalam kehidupan berpolitik dan bernegara tidak pernah netral. Masyarakat secara konstan terus dibentuk oleh berbagai ide, kepercayaan dan nilai. Pluralisme didalam masyarakat membuat kita berhadapan dengan berbagai cara pandang (worldview) yang berbeda-beda. Negara, didalam hal ini, hadir bukan untuk mengakomodir (dan memang mustahil dilakukan, kalaupun mau) setiap perbedaan worldview tersebut, tetapi negara sendiri tidak netral, negara dengan sistem hukum dan kekuatan lembaga dan perangkatnya yang bersifat ”memaksa” justru makin mengkonfirmasi bahwa Negara tidak netral, bahwa negara sendiri memiliki titik acuannya sendiri didalam memandang dan memutuskan segala sesuatu.

Dan di dalam abad ke 21 ini, tidaklah terlalu berlebihan jikalau kita mengatakan bahwa sekularism menjadi worldview yang begitu penting di banyak negara-negara di dunia.

”Secularism” dan Kekristenan

Kata ”sekular” (dari bahasa latin saecularis) memiliki arti ”berkenaan/berkaitan dengan dunia” meskipun memberi kesan yang positif, kata ini justru memberikan kencenderungan konotasi yang negatif. Kata ”secular” secara tradisional dipakai untuk menekankan poin bahwa jika sesuatu itu berkaitan/berkenaan dengan dunia maka sesuatu itu tidak berkaitan/ berkenaan dengan supernatural, agama, gereja, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan sikap anti agama, anti gereja dikalangan sekularis.

Dasar pemikiran sekularis tidak bisa dilepaskan dari bangunan worldview naturalistik sebagai dasarnya. Bahwa pikiran manusia merupakan keutuhan yang bersifat fisik, bahwa segala realita (kenyataan) yang ada itu bersifat fisik semata, Bahwa manusia dapat dimengerti dengan proses reduksi dan cara naturalistik, dan bersama Charles Darwin dengan teori evolusinya, bahwa teori evolusi dapat menjelaskan segalanya, sehingga kita tidak membutuhkan Tuhan, bahwa kehidupan itu sendiri memiliki asal yang bersifat naturalistik semata, dan bukan dari Tuhan. Maka manusia itu adalah Tuhan bagi dirinya sendiri. Dan pandangan ini mendasarkan humanism sebagai worldview dan keyakinannya. Pandangan ini, khususnya didalam manifestasi berikutnya, memberikan hubungan yang jelas antara humanism dan naturalistik, pereduksian kehidupan manusia, dan melahirkan teori politik demokrasi liberal. Pendukung pandangan ini mengklaim bahwa kehidupan manusia adalah hasil dari perubahan evolusi yang dibiarkan berlangsung secara alami tanpa adanya campur tangan dari luar, Bahwa satu-satunya jawaban untuk masyarakat pluralism didalam suatu negara adalah sistem negara seculocracy dan bukan theocracy (karena pluralism berarti juga terdapat banyak kepercayaan dan agama) maka yang kita butuhkan hanyalah pandangan sekuler mengenai moralitas dan politik, dan mengembalikan posisi agama sebagai sesuatu yang bersifat privasi masing-masing.

Nancy Pearsey menyadarkan kita akan adanya penjara dikotomi ini, bahwa seakan-akan sains (termasuk sekularism-naturalistik didalamnya) bersifat netral, obyektif, bebas nilai sehingga bisa diterapkan diwilayah publik, sementara kekristenan bersifat tidak netral, subyektif dan tidak bebas nilai, sehingga hanya bisa diterapkan diwilayah privasi masing-masing.

Menyadari bahwa ada pertentangan worldview disini, maka kita dipanggil untuk menghancurkan penjara dikotomi ini dan mengembalikan otoritas kebenaran Alkitab sebagai kebenaran yang bersifat menyeluruh ke berbagai bidang dan wilayah publik, dan bukan hanya terbatas pada dinding gereja dan privasi semata.

Cornelius Van Til memberikan pandangannya bahwa orang berdosa akan memulai segala pikirannya dengan titik acuan pasti diluar Allah (sebagai Sumber kebenaran itu), maka ketika orang berdosa yang ”buta” itu berusaha untuk mengatur tatanan hukum, masyarakat dan negara itu maka yang terjadi bukanlah suatu keteraturan, tetapi justru akan makin memperparah keadaan yang ada. Segala ide, kepercayaan, nilai yang bukan berasal dari Sang sumber kebenaran itu sendiri, menyebabkan segala hukum, aturan moralitas yang ada bersifat relatif, dan bukan kebenaran absolut. Maka yang kita lihat justru negara harus menggunakan cara kekerasan untuk memaksakan ”kebenaran relatif” untuk menjadi ”kebenaran absolut”. Semakin negara memaksakan ”keabsolutan kebenarannya yang relatif itu” maka justru kerelatifan itu semakin nyata. Maka bagaimana mungkin negara diatur, dipimpin oleh sesuatu yang bersifat relatif, apalagi ditengah pluralism yang makin kental?

Jika berdasarkan pandangan naturalistik, bahwa kehidupan ini tidak memiliki tujuan ultimate didalamnya, dan bahwa kehidupan manusia hanya berdasarkan pada kejadian yang bersifat kebetulan saja, maka sekularism akan sulit menghindari relativism dan bahkan skepticism, khususnya didalam wilayah politik dan etika, dimana pertanyaan besar ada didalamnya, bagaimana sebuah masyarakat diatur dan bagaimana seharusnya manusia hidup.

Maka semua ini harus dimulai dari Sang kebenaran itu sendiri, dimana didalamnya ada kebenaran yang mutlak dan absolut. Panggilan kita adalah bagaimana kita turut berjuang menegakkan kebenaran itu di belantara worldview yang ada, bukan sebagai salah satu alternatif atau pilihan diantara berbagai pilihan/alternatif berbagai worldview yang ada tetapi sebagai bagian dari mandat budaya dan mandat injil yang keduanya tidak dapat dipisahkan tetapi harus dikerjakan secara bersama-sama.

Penutup
Suatu kali saya bertanya dengan Ev. Agus Marjanto di kelas katekisasi: ”Dimana orang Kristen selama ini ? Bukankah harus ada orang Kristen di Kejaksaan, Kehakiman, Kepolisian, DPR, MPR, dan di pos pemerintahan yang lain? Kenapa orang Kristen selama ini lebih memilih untuk berdiri di pinggiran sistem negara ini? Apakah mungkin negara ini terlalu kotor sehingga kita alergi untuk menerjunkan diri di dalamnya?” Maka jawaban beliau mengingatkan kembali hal yang terpenting yaitu bahwa semua itu baik, tetapi harus dikerjakan di dalam kerangka ”panggilan Tuhan”. Apa panggilan hidup kita? Apapun itu, saya tahu bahwa masing-masing anggota tubuh memiliki panggilan dan fungsinya masing-masing, saya tidak tahu apa panggilan hidupmu tetapi satu hal yang saya tahu pasti bahwa kita pasti bukan dipanggil untuk hanya sekedar malu dan bahkan menertawakan bangsa ini.

Malu jadi bangsa Indonesia (yang terutama) bukan malu karena berbagai ketertinggalan negara ini daripada negara lain, Malu jadi bangsa Indonesia bukan malu karena kita merasa bangsa yang lebih rendah derajatnya dari bangsa lain, tapi malu ini karena bangsa ini telah lama berdosa dihadapan Tuhan, sebagaimana Ester malu dihadapan Tuhan karena dosa bangsanya yang telah menumpuk diatas kepala mereka. Inilah malu bangsa Indonesia, inilah malu kita, yang selama ini mungkin tidak pernah punya malu untuk menertawakan berbagai kelemahan bangsa ini, yang tidak pernah punya malu menertawakan diri sendiri, yang sebetulnya itu semua adalah tidak pernah punya malu untuk menertawakan dosa sendiri dihadapan Tuhan. Kiranya makin hari kita boleh makin dibukakan akan kehendak Nya didalam hidup kita. Amin.

[1] Tumanggor Samuel. Demi Allah dan Demi Indonesia.Satu-satu. Indonesia : desember 2006. [2] Rafick Ishak. Catatan hitam lima presiden Indonesia. PT.Cahaya Intan Suci. Indonesia : 2007. [3] Gie, K.K. Pikiran yang terkorupsi. PT. Kompas Media Nusantara.Indonesia : 2006.
[4] Snyders Jack. ”From voting to violence “ : Dari pemungutan suara ke pertumpahan darah.Kepustakaan populer Gramedia. Indonesia : 2003.
[5] Winarta,H.F. Jalan panjang menjadi WNI.PT.Kompas Media Nusantara : Januari 2007.
[6] Sweetman Brendan.”Why politics needs religion “ .Inter varsity press : 2006.
[7] Sukarno. Dibawah bendera revolusi. Panitia Dibawah bendera revolusi. Indonesia : 1965.
[8] Haan, D.R.M. “What I Owe to Government ? “ : Bagaimana bersikap terhadap pemerintah. Yayasan Gloria. Indonesia : 1988.

Menghujat Roh Kudus

Menghujat Roh Kudus: Dosa Yang Tidak Dapat Diampuni
By Budi Sutrisno Soewondo
Reformed Institute for Christianity and 21st Century

Alkitab mencatat ada satu dosa yang tidak dapat diampuni yaitu dosa menghujat Roh Kudus. Hal ini dikatakan oleh Tuhan Yesus sendiri seperti yang tercatat di Injil Matius 12:31, Markus 3:29, dan Lukas 12:10. Banyak orang percaya terus-menerus kuatir dan was-was bahwa mereka telah melakukan dosa ini dan tidak mungkin diselamatkan lagi. Maka, hal ini perlu dimengerti dengan lebih jelas agar tidak dipakai oleh iblis untuk menghambat pertumbuhan rohani orang percaya.

Berbagai Pendapat Mengenai Arti Dosa Ini
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dosa ini adalah menolak Yesus Kristus atau menolak kesaksian Roh Kudus mengenai Kristus. Tetapi bukankah hampir semua orang percaya pernah menolak Kristus sebelum mereka akhirnya bertobat dan diselamatkan? Maka, ini pasti bukanlah dosa menghujat Roh Kudus.

Sebagian yang lain berkata bahwa dosa menghujat Roh Kudus adalah jika orang tersebut tidak menerima Kristus sampai ia meninggal. Mengenai hal ini, Abraham Kuyper mengatakan bahwa “...ordinary wanderers from God do not commit the sin against the Holy Spirit; for they have seen naught of the powers and glories of the age to come (Heb 6)” [1]. Orang yang tidak menerima Kristus sampai ia meninggal memang tidak diselamatkan karena keselamatan hanya ada di dalam Kristus. Tetapi ada banyak orang yang tidak pernah mendengar Injil sehingga tidak mungkin menerima Kristus, apakah mereka bisa dikatakan menghujat Roh Kudus? Mereka bahkan tidak pernah mendengar tentang Kristus atau Roh Kudus. Mengenai orang yang sudah mendengar Injil tetapi tetap menolak, sudah dibahas di paragraf sebelumnya. Jika mereka adalah orang pilihan, mereka tidak akan terus-menerus menolak Kristus dan akhirnya akan diselamatkan.

Sebagian orang Pentakosta berkata bahwa dosa menghujat Roh Kudus adalah ketika mengatakan bahwa pengalaman mereka (pengikut ajaran Pentakosta) “di dalam Roh Kudus” itu tidak benar [2]. Pendapat ini tidak dapat dibenarkan karena jika diteliti lebih jauh, banyak dari pengalaman yang mereka sebut “di dalam Roh Kudus” itu justru bertentangan dengan apa yang diajarkan Alkitab.

Selain itu, ada juga yang beranggapan bahwa orang yang mengucapkan nama Tuhan dengan sembarangan atau menghina Tuhan berarti melakukan dosa ini.

Selain perbedaan pendapat mengenai jenis dosa, ada juga yang mengatakan bahwa dosa itu hanya dapat dilakukan pada waktu Tuhan Yesus masih ada di dunia dan tidak berlaku lagi pada masa kini karena peringatan itu ditujukan kepada mereka yang sudah melihat langsung pekerjaan Roh Kudus melalui Kristus, yaitu penggenapan nubuat Mesianik di dalam hidup dan karya Kristus, tetapi mereka malah mengatakan hal itu sebagai pekerjaan iblis. Di pihak lain, ada yang percaya bahwa dosa menghujat Roh Kudus masih dapat terjadi pada masa kini.

Matius 12:22-24 memberikan konteks ketika Tuhan Yesus baru saja menyembuhkan seorang yang buta dan bisu karena dirasuk setan. Lalu orang-orang yang melihat peristiwa itu menjadi takjub dan berkata, “Ia ini agaknya Anak Daud” karena Yesaya 35:5-6 menubuatkan bahwa ketika Mesias datang, Ia akan menyembuhkan orang buta, tuli, lumpuh, dan bisu. “Anak Daud” adalah sebutan bagi Mesias yang saat itu sedang dinanti-nantikan. Tetapi orang Farisi berkata bahwa Yesus mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, yaitu penghulu setan. Di perikop selanjutnya (ayat 38-42), orang Farisi dan ahli Taurat meminta tanda dari Tuhan Yesus (dan Yesus menjawab bahwa mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus), padahal mereka sudah melihat sendiri tanda Mesias dan bahkan orang-orang Yahudi (biasa) pun mengetahuinya. Ini menunjukkan ketidakpercayaan orang Farisi dan ahli Taurat.

Markus 3:20-22 memberikan konteks yang sedikit berbeda, meskipun kelihatannya menunjuk pada peristiwa yang sama. Yesus baru saja memilih kedua belas rasul dan kemudian masuk ke dalam sebuah rumah lalu datang orang banyak berkerumun. Ketika itu, keluarga-Nya datang untuk mengambil (menjemput) Dia karena mengira Ia tidak waras. Juga ahli-ahli Taurat berkata bahwa Ia kerasukan Beelzebul dan Ia mengusir setan dengan kuasa penghulu setan. Ayat 1-12 mencatat bahwa Yesus telah menyembuhkan banyak orang, termasuk orang yang kerasukan setan. Penting untuk diperhatikan bahwa di ayat 11, roh-roh jahat pun mengaku bahwa Yesus adalah “Anak Allah”.

Matius 12:9-15a dan Markus 3:1-6 mencatat hal yang sama, yaitu penyembuhan seorang yang mati sebelah tangannya pada hari Sabat. Matius dan Markus menempatkan peristiwa ini sebelum catatan mengenai penghujatan tersebut. Matius mencatat bahwa yang menghujat adalah orang Farisi, sedangkan Markus mencatat bahwa penghujatan itu dilakukan oleh ahli-ahli Taurat.

Lukas memberikan konteks yang berbeda dengan Matius dan Markus. Peringatan mengenai dosa menghujat ini disampaikan oleh Tuhan Yesus ketika sedang mengajar murid-muridnya dan tidak ditujukan secara langsung kepada orang Farisi ataupun kepada ahli-ahli Taurat (lihat 12:1, tetapi perhatikan perikop sebelumnya, ketika Tuhan Yesus mengecam keduanya, baik orang Farisi maupun ahli Taurat), meskipun saat itu juga ada ribuan orang yang sedang berkerumun dan mungkin orang Farisi dan ahli Taurat juga ada di situ. Peringatan mengenai dosa menghujat Roh Kudus (12:10) ini diletakkan setelah peringatan mengenai pengakuan dan penyangkalan terhadap Anak Manusia (ayat 8-9) dan sebelum “penghiburan” bahwa Roh Kuduslah yang akan menaruh perkataan kepada para murid ketika mereka dihadapkan ke pengadilan (ayat 11-12). Peristiwa penghujatan itu sendiri dicatat di pasal 11:14-23, seakan-akan kedua peristiwa ini tidak berhubungan langsung.

Kata “menghujat” berasal dari kata “blasphemia” (Yunani), yang terbentuk dari “blapto” dan “pheme”. “Blapto” berarti menghalangi dengan tujuan yang jahat, sedangkan “pheme” berarti mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran melalui kata-kata. Dengan demikian, “blasphemia” dapat diartikan sebagai penggunaan kata-kata dengan tujuan jahat, dan sering dikaitkan dengan tujuan untuk merusak reputasi seseorang atau melawan yang Ilahi.

Kata “menghujat” dan variannya muncul 39 kali di dalam Alkitab. Yang berhubungan dengan menghujat Allah, termasuk Roh Kudus, dicatat di Kel 22:28; Im 24:11,14,16,23; Bil 15:30; 2Raj 19:6,22; Neh 9:18,26 (menista); Yes 37:6,23, 52:5 (dikutip di Rm 2:24); Yeh 20:27; Mat 9:3*, 12:31, 26:65*; Mrk 2:7*, 3:29, 14:64*; Luk 5:21*, 12:10; Yoh 10:33,36*; Kis 6:11*, 26:11 (menyangkal iman); 1Tim 1:13,20; 2Ptr 2:10b-12; Why 13:1,5-6, 17:3. Ayat-ayat dengan tanda (*) mencatat tuduhan bahwa Yesus telah menghujat Allah karena menyamakan diri-Nya dengan Allah, kecuali Kis 6:11 di mana Stefanus yang dituduh menghujat Musa dan Allah. Sedangkan di kitab Wahyu, penghujatan dilakukan oleh “binatang” yang keluar dari dalam laut, bukan oleh manusia.

Dalam Perjanjian Lama (PL), penghujatan manusia kepada Allah selalu dijatuhi hukuman mati. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pemulihan dan pengampunan untuk dosa tersebut. Sedangkan dalam Perjanjian Baru (PB), selain peringatan Tuhan Yesus (di Mat 12, Mrk 3, dan Luk 12) dan tentang binatang di kitab Wahyu, adalah mengenai Saulus (Paulus) yang dahulu adalah penghujat (1Tim 1:13), Himeneus dan Aleksander yang diserahkan kepada Iblis karena menghujat (1Tim 1:20), dan tentang akan adanya guru-guru palsu yang menghujat (2Ptr 2:10b-12) yang disebut sebagai orang-orang terkutuk. Dari ketiga kasus ini, hanya Saulus yang menghujat ketika ia belum mengerti kebenaran. Himeneus dan Aleksander adalah orang-orang yang dikenal jemaat, sedangkan guru-guru palsu yang dimaksud oleh Petrus tentu adalah guru-guru yang (akan) ada di kalangan gereja (“di antara kamu”, 2Ptr 1:1), sehingga mereka seharusnya adalah orang-orang yang mengerti kebenaran.

Yesus mengatakan bahwa menghujat Anak Manusia dapat diampuni. Tetapi karena tidak ada keselamatan di luar Kristus, bagaimana menjelaskan perkataan Tuhan Yesus ini? Ada yang mengatakan bahwa ketika Yesus mengatakan hal ini, pekerjaan Roh Kudus di dalam diri-Nya belum sepenuhnya digenapi. Yesus belum mempersembahkan diri-Nya di kayu salib, belum dibangkitkan dari kematian, dan belum terangkat ke surga. Roh Kudus juga belum dicurahkan kepada orang percaya. Dengan demikian, orang-orang pada zaman itu belum dapat mengerti dengan jelas karya Roh Kudus di dalam Kristus. Dalam konteks inilah, Yesus mengatakan bahwa hujat terhadap diri-Nya dapat diampuni. Tetapi ketika seluruh pekerjaan Roh Kudus dalam diri Kristus sudah genap dan Roh Kudus sudah diberikan kepada orang percaya, menghujat Anak Manusia berarti menolak karya keselamatan. Maka, jika seseorang terus-menerus menolak Kristus, ia tidak akan diselamatkan.

Kutipan berikut berasal dari Matthew Henry Notes on Matt. 12:22-37 (KJV, dikutip dari BibleWorks): As for those who blasphemed Christ when he was here upon earth, and called him a Winebibber, a Deceiver, a Blasphemer, and the like, they had some colour of excuse, because of the meanness of his appearance, and the prejudices of the nation against him; and the proof of his divine mission was not perfected till after his ascension; and therefore, upon their repentance, they shall be pardoned: and it is hoped that they may be convinced by the pouring out of the Spirit, as many of them were, who had been his betrayers and murderers. But if, when the Holy Ghost is given, in his inward gifts of revelation, speaking with tongues, and the like, such as were the distributions of the Spirit among the apostles, if they continue to blaspheme the Spirit likewise, as an evil spirit, there is no hope of them that they will ever be brought to believe in Christ; for First, Those gifts of the Holy Ghost in the apostles were the last proof that God designed to make use of for the confirming of the gospel, and were still kept in reserve, when other methods preceded. Secondly, This was the most powerful evidence, and more apt to convince than miracles themselves. Thirdly, Those therefore who blaspheme this dispensation of the Spirit, cannot possibly be brought to believe in Christ; those who shall impute them to a collusion with Satan, as the Pharisees did the miracles, what can convince them? This is such a strong hold of infidelity as a man can never be beaten out of, and is therefore unpardonable, because hereby repentance is hid from the sinner's eyes.

Dalam kasus Saulus, ia menghujat ketika ia belum mengerti kebenaran (“tanpa pengetahuan yaitu di luar iman”, 1Tim 1:13b). Yang ia ketahui adalah bahwa Yesus, yang menyamakan diri dengan Allah, sudah mati disalib dan kini para pengikut-Nya menganggap Ia sudah bangkit dan menyembah-Nya sebagai Tuhan. Bagi Saulus, ini adalah penghujatan kepada Allah. Maka ia, dibangkitkan oleh kesetiaannya kepada Allah, menganiaya orang yang percaya kepada Yesus. Inilah yang disebutnya sebagai penghujatan. Tetapi ketika Yesus sudah menampakkan diri dan menyatakan kebenaran kepadanya, Saulus (Paulus) tidak pernah lagi menolak-Nya.

Hal ini berbeda dengan kasus Himeneus dan Aleksander, maupun guru-guru palsu. Mereka sudah ada di dalam gereja dan pasti sudah mendengar tentang kebenaran itu, tetapi mereka malah menghujat. Penolakan secara sadar dan sengaja inilah yang dimaksud dengan penghujatan. Demikian juga yang dilakukan bangsa Israel yang diselamatkan Allah dari Mesir. Mereka telah melihat kuasa Allah di dalam sepuluh tulah, menyeberangi Laut Merah, merasakan penyertaan dan pemeliharaan Allah melalui tiang awan dan tiang api, manna, burung puyuh, dan air yang keluar dari batu; tetapi mereka tetap tidak percaya bahwa Allah sanggup mengalahkan bangsa Kanaan. Orang Israel terus-menerus meminta bukti dari Allah, ini menunjukkan ketidakpercayaan mereka sehingga Allah menghukum mereka dengan tidak membiarkan mereka masuk ke Kanaan yang adalah tempat perhentian dan gambaran dari surga. Stefanus mengatakan bahwa mereka “selalu menentang Roh Kudus” (Kis 7:51). Meskipun mereka tidak langsung mati, tetapi hukuman itu sudah ditetapkan dan sudah tidak dapat diubah.

Menurut J. I. Packer: “It is possible for people to be enlightened to the point of knowing inwardly that Jesus is the divine Savior he claims to be, and still not willing to admit it publicly, because of all the behavioral changes that such an admission would make necessary. It is possible to try to make oneself feel good about one’s own moral dishonesty by inventing reasons, no matter how absurd, for not treating Jesus as worthy of one’s allegiance. Jesus evidently perceived that in calling him Satan’s servant the Pharisees were doing exactly that. They were not ignorant; they were stifling conviction and smothering real if unwelcome knowledge; they were resolutely shutting their eyes to the light and callousing their conscience by calling it darkness” [3].

Kasus lebih jelas dapat dilihat di dalam diri Firaun ketika ia menghadapi Musa dan sepuluh tulah dari Allah, meskipun tidak secara literal dikatakan bahwa Firaun menghujat Allah. Ketika tulah demi tulah terjadi, Firaun tahu bahwa Allahlah yang melakukan semuanya itu bahkan mengaku bahwa ia telah berdosa (perhatikan peningkatan “kesadaran” Firaun dalam Kel 8:8,28, 9:27-28, 10:16-17, 12:31-33), tetapi ia tetap mengeraskan hatinya. Allah dikatakan mengeraskan hati Firaun dalam arti bahwa Firaun memang mengeraskan hatinya sendiri dan Allah membiarkan. Kecenderungan hati manusia adalah membuahkan kejahatan (Kej 6:5) dan anugerah umum Allah yang menahan kejahatan tersebut, maka ketika Allah menarik anugerah-Nya, kejahatan manusia akan menjadi-jadi. Ketika Allah mengeraskan hati Firaun, Ia melakukannya dengan membiarkan (tidak menahan dengan anugerah-Nya sehingga) Firaun mengeraskan hatinya. Ketika Firaun mulai mengetahui bahwa Allahlah yang melakukan semuanya itu dan ia menetapkan untuk mengeraskan hati, sejak saat itu ia tidak dapat kembali ke posisinya semula karena Allah telah membiarkannya.

Kuyper mengatakan bahwa: “To commit this sin, two things are required, which absolutely belong together. First, close contact with the glory which is manifested in Christ or in His people. Second, not mere contempt of that glory, but the declaration that the Spirit which manifests itself in that glory, which is the Holy Spirit, is a manifestation of Satan. ...This is a willful sin, intentionally malicious. It betrays systematic opposition to God. That sinner cannot be saved, for he has done despite unto the Spirit of all grace. He has lost the last remnant in the sinner, the taste for grace, and with it the possibility of receiving grace”[4].

Dan John Calvin: “By detracting from the grace and power of God, we make a direct attack on the Spirit, from whom they proceed, and in whom they are revealed to us. Shall any unbeliever curse God? It is as if a blind man were dashing against a wall. But no man curses the Spirit who is not enlightened by him, and conscious of ungodly rebellion against him...” [5].

Dosa menghujat Roh Kudus tidak dapat diampuni bukan karena dosa itu lebih besar daripada kuasa penebusan Allah sehingga Allah pun tidak sanggup berbuat apa-apa. Dosa itu tidak dapat diampuni karena Allah memang tidak mau mengampuni. John Piper mengaitkan hal ini dengan peran Roh Kudus: “I think it's because of the unique and decisive role the Holy Spirit plays in our salvation. If we look to God the Father and then turn from his glory to embrace sin, that is bad. If we look to his Son Jesus Christ whom he sent into the world and then turn away from his glory to embrace sin, that is doubly bad. But in either case there is hope. The Father has planned redemption, the Son has accomplished redemption. This wonderful redemption is outside ourselves and available to us if we repent of our sin and turn back to Christ in faith. But it is the unique and special role of the Holy Spirit to apply the Father's plan and the Son's accomplishment of it to our hearts. It is the Spirit's work to open our eyes, to grant repentance, and to make us beneficiaries of all that the Father has planned and all that Christ has done for us. If we blaspheme and reject the Father and the Son, there is still hope, for the Spirit may yet work within us to humble us and bring us to repentance. But if behind the Father and the Son we see and taste the power of the Holy Spirit and reject his work as no more precious than the work of Satan, we shut ourselves off from the only one who could ever bring us to repentance. And so we shut ourselves off from forgiveness” [6].

Piper memberikan definisi dosa menghujat Roh Kudus sebagai berikut: “The unforgivable sin of blasphemy against the Holy Spirit is an act of resistance which belittles the Holy Spirit so grievously that he withdraws for ever with his convicting power so that we are never able to repent and be forgiven” [7]. Dosa ini bukan sekedar terus-menerus menolak sampai mati karena orang yang melakukan dosa ini tidak akan diampuni, “di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak” (Mat 12:32b). Kata “dunia” dapat diartikan sebagai zaman (age) sehingga ketika dosa itu membuat pelakunya saat itu juga berada di luar kemungkinan untuk diselamatkan.

Dosa menghujat Roh Kudus tidak akan dilakukan oleh umat pilihan karena Allah sendiri yang (memberikan anugerah-Nya untuk) menjaga mereka dari melakukan dosa tersebut (1Yoh 5:16-18). All other sins against the Holy Spirit are commited by believers. We can repent of them, be forgiven, and make a new start. Not so with blaspheming the Spirit. This sin is committed by unbelievers and is often called “the unpardonable sin” [8]. Ketika orang percaya kuatir dan was-was bahwa ia telah jatuh ke dalam dosa ini, hal ini justru menunjukkan bahwa ia tidak melakukan dosa tersebut karena orang yang menghujat Roh Kudus, hatinya akan dikeraskan sehingga ia tidak akan menjadi kuatir, sebaliknya semakin melawan Tuhan. “...that no one has committed this sin who continues to be under the disturbing, convicting, and drawing power of the Holy Spirit. So long as the Spirit strives with a person, he has not committed the unpardonable sin” [9].

Berdasarkan pembahasan di atas, dosa murtad (fall away, Ibr 6:6, 10:26,29) tampaknya dapat disejajarkan dengan dosa menghujat Roh Kudus. Sebagian orang berpendapat bahwa penulis Ibrani tidak bermaksud menyatakan bahwa dosa murtad benar-benar ada, tetapi hanya memberi peringatan kepada jemaat yang sedang dalam penganiayaan untuk tetap setia. Menurut mereka, seseorang yang telah diterangi hatinya, pernah mengecap karunia sorgawi, pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang (Ibr 6:4-5) serta memperoleh pengetahuan tentang kebenaran (Ibr 10:26), pasti adalah orang yang sudah diselamatkan sehingga tidak mungkin jatuh lagi. Yang dimaksud dengan “fall away” adalah “A total defection or falling away from the Gospel, when a sinner offends not God in some one thing, but entirely renounces his grace” [10]. Maka, dosa murtad tidak mungkin dilakukan oleh orang percaya sejati. Hanya mereka yang memang tidak dipilih yang dapat menginjak-injak Anak Allah (penulis Ibrani tidak memakai “Anak Manusia”), menganggap najis darah perjanjian yang menguduskan, dan menghina Roh kasih karunia (Ibr 10:29).

Tetapi apakah orang yang tidak diselamatkan juga dapat mengalami anugerah yang sedemikian? Bagi Calvin: “But I cannot admit that all this is any reason why he (God) should not grant the reprobate also some taste of his grace, why he should not irradiate their minds with some sparks of his light, why he should not give them some perception of his goodness, and in some sort engrave his word on their hearts” [11]. Calvin mengaitkannya dengan iman sementara yang dicatat di Mrk 4:17, yaitu benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang sempat bertumbuh tetapi kemudian murtad karena tidak berakar.

Simpulan
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dosa menghujat Roh Kudus dan dosa murtad adalah dosa yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memang tidak dipilih untuk diselamatkan, yang mengeraskan hatinya sedemikian setelah mereka menyaksikan atau mengalami anugerah Allah yang begitu nyata, sehingga mereka menempatkan diri mereka sendiri di luar kemungkinan untuk diselamatkan. Kedua dosa ini tidak hanya terjadi pada masa Tuhan Yesus, tetapi juga pada masa kini.

Mengetahui kenyataan ini, setiap orang seharusnya tidak menganggap remeh anugerah Tuhan sehingga ia harus segera melarikan diri dari dosa. Dosa adalah sesuatu yang serius, bukan sebuah permainan. Di sisi yang lain, orang percaya sejati tidak seharusnya terus-menerus merasa kuatir bahwa ia akan melakukan dosa ini. Allah yang memberikan Anak-Nya yang tunggal adalah Allah yang setia, yang akan memampukan setiap orang percaya untuk tetap setia kepada-Nya.

[1] Abraham Kuyper. The Work of the Holy Spirit, trans. by Henri De Vries. (Chattanooga: AMG Publisher, 1995), p. 643.
[2] John MacArthur Jr., "Bible Questions and Answers Part 4" dikutip dari [http://www.biblebb.com/files/macqa/1301-B-8.htm] 30 November 2007.
[3] J. I. Packer, Concise Theology: A Guide to Historic Christian Beliefs. (Wheaton: Tyndale House Publishers, Inc., 1993), p. 244-245.
[4] Abraham Kuyper. The Work of the Holy Spirit. p. 643.
[5] John Calvin. Commentary on A Harmony of the Evangelists, Matthew, Mark, and Luke, vol. second. Translated by Rev. William Pringle. (Grand Rapids: Baker Book House, 1993), p. 75.
[6] John Piper, “Beyond Forgiveness: Blasphemy Against the Spirit”, dikutip dari [http://www.desiringgod.org/ResourceLibrary/Sermons/ByDate/1984/432_Beyond_Forgiveness_Blasphemy_Against_the_Spirit/] 30 November 2007.
[7] Ibid
[8] Billy Graham. The Holy Spirit: Activating God’s Power in Your Life. (Texas: WORD Books, 1980), p. 181-182.
[9] Ibid
[10] John Calvin. Commentaries on the Epistle of Paul the Apostle to the Hebrews, trans. by Rev. John Owen. (Grand Rapids: Baker Book House, 1993), p. 136.
[11] Ibid, p. 138.