By Agus Suprapto
”Malu (aku) jadi bangsa Indonesia”, merupakan judul buku kumpulan seratus puisi Taufiq Ismail. Malu? Mengapa malu? malu ketika mendapati bangsa-bangsa tetangga yang senasib telah mengatasi badai moneter, sementara negeri ini masih terus menikmati praktek-praktek yang tidak beradab? Juga malu ketika negara ini juga tidak kunjung menorehkan suatu prestasi yang membanggakan diberbagai bidang? Lihat saja, bagaimana Ishak Rafick memaparkan kepada kita bagaimana negara ini sudah kehilangan kedaulatannya sebagai bangsa merdeka yang berdaulat diberbagai bidang (baik politik, teritorial dan ekonomi), dan bagaimana Dr. Kwik Kian Gie dengan begitu cermat menganalisa bahwa berbagai permasalahan di negeri ini karena korupsi, bukan hanya didalam aspek perilaku, tetapi sudah sampai pada pikiran yang terkorupsi. Dan saya percaya masih banyak lagi yang bisa kita kemukakan untuk mencari alasan kenapa kita malu dengan bangsa ini, itupun kalau rasa malu itu masih ada....
Inikah jawaban kenapa nasionalisme itu tidak ada lagi pada diri kita?
Tapi disisi lain, kita juga melihat bagaimana ada sekelompok yang menaruh keprihatinan terhadap hal ini dan dengan mengebu-gebu meneriakkan ”nasionalisme” sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dan ditanamkan di dalam setiap hati bangsa ini, bahkan cenderung mulai mengkritik kelompok lain yang dianggap tidak memiliki nasionalisme ketika memilih pindah dan berkerja di luar negeri misalnya. Sementara disisi lain, Sekjen PDIP Pramono Anung pernah berkata: ”...kita harus membedakan antara apa itu nasionalisme dan apa itu urusan mencari makan sesuap nasi di negara tetangga....” Lalu apakah sebetulnya nasionalisme itu? Dan bagaimana kita sebagai orang Kristen memandang hal ini? Apakah patriotisme itu merupakan suatu berhala lain? Bukankah kita (orang Kristen) hanyalah seorang musafir di dunia yang sementara ini? Bukankah kita ini adalah warga negara surga dan bahwa Indonesia adalah bagian dari dunia yang sementara itu? Jikalau memang benar demikian adanya, lalu kenapa Tuhan menempatkan kita di negara yang namanya Indonesia ? Apakah ini semata kebetulan saja ? Lalu apa relevansinya hal ini dengan mandat injil dan budaya yang kita anut (khususnya di negara ini)?
Nasionalisme
Definisi ilmiah yang paling sering dipakai mengenai nasionalisme adalah yang dibuat oleh Ernest Gellner. Ia merumuskan nasionalisme sebagai doktrin bahwa unit politik (the state) dan unit budaya (the nation) harus berimpit (should be congruent). Ini berarti bahwa Negara, yang merupakan organisasi pelaksana kekuasaan yang berdaulat atas suatu wilayah, harus memerintah atas nama dan demi kepentingan suatu bangsa tertentu (a particular nation), yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki budaya yang sama.
Jadi menurut pandangan ini, bangsa diartikan sebatas orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama.
Pandangan ini menurut Jack Snyder memiliki banyak kelemahan, mendefinisikan nasionalisme semata-mata dalam pengertian sebudaya tampaknya bakal menyingkirkan dari dalam definisi nasionalisme kesetiaan militan terhadap lembaga-lembaga politik Negara atau berbagai prinsip lain yang tidak berdasarkan budaya.
Bung Karno, sang proklamator itu sendiri memiliki pengertian bangsa bukan sebagai kesamaan latar belakang budaya, dan menolak definisi bangsa hanya dipandang dari sisi biologis semata, tetapi lebih memilih memandang bangsa dari segi sosiologis, yaitu suatu bangsa didasarkan pada komitmen bersama sekelompok orang yang punya nasib sama dan berjuang bersama untuk mencapai kepentingan bersama. Saya sependapat dengan pandangan Bung karno dan Jack Snyder dalam hal ini.
Lalu bagaimana nasionalisme itu berkembang di negara Indonesia... dan bagaimana kaitannya dengan sejarah kekristenan di Indonesia...
Kekristenan dan Nasionalisme Indonesia
Sesuatu yang terhilang....
Hari ini kita hidup di tengah masyarakat Indonesia yang cita kebangsaan/nasionalismenya disebut berada di titik nol oleh Sophan Sophian (tokoh nasionalis). Pada banyak kesempatan, saya menyempatkan berdiskusi dengan sesama umat nasrani mengenai nasionalisme, dan saya menemukan berbagai pandangan, yang paling menonjol adalah agenda nasionalisme tidak pernah mendapat prioritas, bahkan mungkin tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Berbagai alasan diungkapkan, dari diskriminasi kelompok mayoritas dan minoritas, perlakuan tidak adil pemerintah terhadap berbagai kehidupan beragama, terlalu bosan untuk melihat perilaku kaum eksekutif, legislatif dan yudikatif yang tidak beradab, sampai mungkin secara tidak sadar terlalu menekankan ajaran bahwa kita ini hanyalah seorang musafir di dalam dunia yang fana ini.... Yang semuanya mengkerucut membentuk kekecewaan dan ketidakperdulian terhadap bangsa dan negara ini.
Sejarah Kelam “Kekristenan“ di Indonesia
Pada kesempatan ini, saya akan memaparkan sedikit mengenai sejarah Indonesia khususnya dikaitkan dengan perjalanan perkembangan kekristenan.
Kita harus akui sejarah Indonesia memberikan kesan bahwa kekristenan identik dengan agama penjajah, agama kompeni, agama yang menindas bangsa Indonesia.Sejarah membuktikan bagaimana kerakusan negara-negara penjajah itu memeras, merampas, menindas negeri ini selama 350 tahun. Keganasan imperialisme dan kolonialisme itu meninggalkan kesan mendalam yang tidak mudah dihapuskan dari bangsa ini. Banyak tulisan akan memberitahu kita bahwa orang belanda memakai istilah ”inlander” yang artinya kera-kera penghuni suatu pulau, untuk dirujuk kepada bangsa Indonesia, bangsa jajahan saat itu. Kera! Monyet! leluhur kita dikera-kera kan oleh belanda sampai mereka percaya bahwa mereka memang serendah kera. Kekeraan itu kemudian mereka wariskan kepada kita yang sampai saat ini tetap memandang rendah kebangsaan kita dan Cuma pintar jadi kera peniru bangsa asing saja.
Kemarahan ini mendorong R.A. Kartini berkata : ”orang terlalu sering lupa, bahwa ”negeri kera yang brengsek” itu telah mengisi beberapa saku kosong (orang belanda) dengan emas, kalau mereka pulang ke tanah air (Belanda) setelah tinggal disini beberapa tahun.”
Bagaimana mungkin negara yang dahulunya berlandaskan kekristenan mempraktekkan imperialisme dan kolonialisme yang keji itu?
Bagaimana semuanya itu terjadi?
Dahulu, sebelum abad ke-10, boleh dikatakan bangsa Eropa hidup dalam kebodohan dan kegelapan, sampai-sampai disebut barbar oleh sesama kulit putih, bangsa Yunani dan Romawi. Tidak ada peradaban tinggi yang mereka hasilkan, tetapi sewaktu Injil masuk, maka peradaban mulai berkembang, setelah 5 abad, mereka mulai melesat meninggalkan bangsa-bangsa lain, Puncaknya adalah peristiwa besar pada abad 16 : Pemampangan 95 dalil oleh Martin Luther di Wittenberg yang menandai kelahiran gerakan protestan. Dalil-dalil itu menepis segala kebodohan, membuang segala takhyul, Alkitab kembali ditaati dan dijunjung tinggi. Johannes Calvin tampil setelah Luther dan merumuskan ajaran Protestan yang lebih sistematis. Etos kerja kekristenan dibangun dan hasilnya bangsa-bangsa eropa mencapai kejayaan yang mencengangkan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya kita melihat bagaimana kemudian bangsa-bangsa ini menjadi durhaka dan anti Allah. Kekenyangan berkat justru mencetuskan ribuan hujatan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cotton Mather, pendeta puritan di awal negara AS, meratap: ”Agama melahirkan kemakmuran, lalu anak perempuan itu membunuh ibunya.” Lalu kita menyaksikan bagaimana bangsa-bangsa barat memakai kekuatannya untuk menjajah bangsa-bangsa lain. Setelah masa penjajahan berlalu, mereka pun masih memakai kekayaannya untuk memasung bangsa-bangsa lain secara ekonomi (dalam hal ini Ishak Rafick bersama Dr. Kwik Kian Gie menggambarkan dengan begitu baik, bagaimana kejatuhan Indonesia didalam krisis moneter yang tidak kunjung pulih juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai manuver bank dunia, IMF, dan negara-negara G 7).
Sebab itu banyak orang (termasuk Max Weber (1864-1920), pakar kemasyarakatan asal jerman) menuding Calvin sebagai pangkal segala keburukan yang timbul dari kapitalisme ini. Tentu saja tudingan itu wajib ditangkis. Tentu tidak adil kalau kesalahan diletakkan pada Calvin atau etika kristen. Kesalahan seharusnya diletakkan pada manusia-manusia berhati serakah yang gemar memakai apa yang baik untuk tujuan yang tidak baik. Falsafah ekonomi Calvin bukanlah falsafah mencari laba tetapi falsafah pelayanan. Calvin membangun dasar bagi etika kerja yang begitu efisien, kalau kemudian kejayaan yang diperoleh dipakai beberapa orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri, itu adalah penduniawiaan, bahkan pemutarbalikkan ajaran Calvin.
Tetapi apakah bangsa Indonesia mengerti hal ini, ditengah rendahnya pendidikan mereka sebagai bangsa jajahan, yang mereka tahu, agama kristen masuk bersamaan dengan bangsa penjajah yang masuk dan memeras mereka.
Bukankah saat Abraham Kuyper menjadi Perdana Menteri, saat itu negaranya masih menjajah negara ini ? Memang saat itu Abraham Kuyper memelopori ”politik balas budi” untuk bangsa Indonesia, tetapi pertanyaannya apakah itu memberikan perubahan yang signifikan? Kita melihat bagaimana susunan dan tata kelas masyarakat yang dibentuk oleh Belanda (bahwa Belanda adalah kelas 1, China kelas 2, Pribumi kelas 3 ) memberikan implikasi yang panjang. Kejadian kerusuhan Mei 1998, dan bagaimana diskriminasi etnis Tionghoa dengan berbagai permasalahannya tidak bisa dilepaskan dari akar masalah di sistem kelas yang diciptakan Belanda. Pola pikir ini terus dikembangkan pada zaman Suharto, menimbulkan kekecewaan mendalam pada kaum minoritas (dari kasus SKBRI sampai hak hidup dinegara ini). Kekecewaan mendalam ini memberikan efek lingkaran setan yang terus memperlebar jurang perbedaan diantara minoritas dan mayoritas.
Bukan maksud saya untuk membangkitkan kembali kebencian itu, tetapi saya ingin menunjukan bahwa kita kaum kristen tidak terlalu memiliki modal start yang baik di negeri ini.Ketika kita dipanggil untuk menjalankan mandat injil itu, ini sedikit banyak menimbulkan kesulitan. Harapan saya dengan mempelajari sejarah ini, memberikan perspektif yang lebih lengkap dan luas mengenai negara ini dan memberikan kita bijaksana untuk mengambil sikap dalam hal ini.
Sebagaimana alkitab adalah kitab yang jujur mengungkapkan apa adanya tentang bangsa israel dan tokoh-tokoh iman didalamnya. Dengan segala keteladanan dan keberdosaan mereka, bukan dengan maksud untuk dihina tetapi karena ada sesuatu yang Tuhan mau kita belajar didalamnya.
Sebagaimana Nancy Pearsey didalam bukunya ” Total Truth” menceritakan bagaimana ”gereja” melakukan kesalahan didalam menanggapi kasus Galileo Galilei dan Copernicus mengakibatkan dikotomi Iman dan sains ( ilmu pengetahuan ), Maksudnya adalah bukan untuk mendeskriditkan kekristenan itu sendiri tetapi melalui sejarah, kita bisa belajar bagaimana kita harus bersikap di masa kini.
Ketika kita sudah terlalu kecewa dengan berbagai perlakuan diskriminatif dan tidak adil oleh pemerintah, maka saya ingin mengatakan bahwa bangsa jangan disamakan dengan pemerintah atau rezim. Pemerintah adalah sekelompok orang yang memegang tampuk kekuasaan atas suatu bangsa, sedangkan bangsa adalah seluruh manusia dalam bangsa itu, termasuk orang-orang pemerintahannya. Pemerintah hanyalah unsur kecil dari bangsa (meskipun menjadi penentu banyak hal). Orang-orangnya bisa berganti, ideologinya bisa bertukar, kebijakan-kebijakannya bisa berubah, tetapi bangsa tetaplah bangsa. Memang kita akui bahwa pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan, tetapi masakan bangsa Indonesia secara keseluruhan yang harus menganggung dakwaan kita? Saya sering mendengar Gus Dur berkata bahwa ” majority is silent ”, artinya tidak selalu kebijakan pemerintah itu sinkron dengan kehendak bangsa secara keseluruhan. Nasionalisme saya bukan mengacu pada suatu rezim atau pemerintahan, tetapi mengacu kepada konsep bangsa.
Lalu apa hubungannya semua ini dengan kekristenan? bukankah kita ini hanyalah seorang musafir ditengah dunia yang fana ini, bahwa kita orang percaya adalah warga negara surga?
Pertanyaan ini membutuhkan penjelasan yang panjang, karena yang terjadi disini adalah kekeliruan cara pandang yang mendasar. Tetapi penjelasan J.I Packer dibawah ini sangat baik: ”Paradoks dalam kehidupan kristiani adalah bahwa semakin seorang percaya tertarik pada perkara surgawi, semakin dalam ia menaruh perhatian agar kehendak Allah digenapi didunia ini.”
Samuel Tamunggor memberikan kita sisi lain ini.
Mari kita bercermin kepada negara Korea. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1970-an hanya ada 5% warga korea selatan yang beragama nasrani. Hari ini, lebih dari seperempat abad kemudian, jumlah itu meningkat menjadi 49% betapa pesatnya! Apa kiatnya? Dr. Anne Ruck di dalam bukunya ”Sejarah gereja Asia memberikan penjelasannya: ”Dari permulaannya gereja mendukung serta mengembangkan kebudayaan khas bangsa Korea, sehingga kekristenan dianggap mendukung pergumulan bangsa korea. Berbeda dengan gereja di negara-negara lain, gereja Korea tidak disamakan dengan penjajah. Kekristenan di Korea tidak pernah berkaitan dengan imperialisme barat, tetapi berkaitan erat dengan nasionalisme Korea....”
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan ini, tetapi saya tahu ada hal penting yang ingin disampaikan didalamnya, saya pun berharap kita bisa menangkapnya.
Bukankah awal dari setiap kebangunan rohani di setiap negara, itu bermula dari kepedulian kita terhadap negara tersebut. Benar bahwa dibalik setiap kebangunan itu Allah yang berkehendak, Allah yang berkarya, dan Tuhan mengerakkan setiap anak-anakNya untuk giat menginjili. Tetapi mungkinkah kita punya hati untuk menginjili kalau kita tidak punya kepedulian terhadap bangsa ini? Tidak mengasihi bangsa yang besar ini? Bukankah disaat minoritas itu melebur menjadi satu dengan mayoritas, maka saat itu tidak ada lagi dikotomi mayoritas dan minoritas?
Tetapi ketika kita mendengar bahwa ada sekelompok orang yang terlalu menganggung-agungkan nasionalisme mereka, apakah betul nasionalisme itu netral dan bebas nilai? Apakah benar seorang nasionalis itu pasti Alkitabiah? lalu bagaimana seharusnya kekristenan bersikap mengenai ini?
Suatu kali didalam kesempatan yang sangat langka, ketika FIRES diberi kesempatan bertemu dengan Pdt. Dr. Stephen Tong, saya bertanya tentang: ” Bagaimana gerakan ini memandang nasionalisme ?” Beliau menjawab: ”Ketika kita memiliki nasionalisme sejati, maka saat itu kita menerima segala perbedaan.” Jujur, saya tidak mengerti perkataan itu, mungkin lebih tepatnya jawaban itu tidak sesuai dengan harapan saya. Jawaban itu tidak se”patriotik” yang ada di kepala saya, yang sudah sejak lama diisi dengan konsep nasionalisme karismatiknya bung Karno. Di dalam kenaifan saya yang mengira bahwa nasionalisme itu obyektif, bebas nilai dan netral, dan sudah seharusnyalah bahwa setiap orang Kristen memiliki konsep nasionalisme yang saya anut. Sampai pada suatu kali Tuhan membuka mata saya mengenai hal ini.
Nasionalisme, Politik, dan Negara
Belantara Worldview Di Dalamnya
Akhir-akhir ini kita melihat bagaimana beberapa tokoh nasional mengunakan label nasionalisme untuk mencari dukungan massa pada pemilihan presiden di tahun 2009. Terdengar begitu patriotik dan begitu simpatik, tetapi sesungguhnya sarat dengan kepentingan elit politik tertentu. Inilah yang diungkapkan oleh Jack Snyders, bahwa nasionalisme sering dipakai oleh elite politik tertentu untuk mencapai kepentingannya sendiri. Dia mencontohkan bagaimana proses nasionalisme revolusioner di Perancis, nasionalisme kontra revolusioner di Jerman, nasionalisme sipil di Britania Raya sampai ke nasionalisme SARA di Rwanda, keseluruhannya tidak lepas dari berbagai peranan elite politik didalam memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Konsep nasionalisme yang sempit seringkali justru membawa sikap bermusuhan dan berujung dengan peperangan antar negara. Ini langsung menyadarkan saya mengenai jawaban Pdt. Dr. Stephen Tong atas pertanyaan saya.
Nasionalisme didalam prakteknya didalam kehidupan berpolitik dan bernegara tidak pernah netral. Masyarakat secara konstan terus dibentuk oleh berbagai ide, kepercayaan dan nilai. Pluralisme didalam masyarakat membuat kita berhadapan dengan berbagai cara pandang (worldview) yang berbeda-beda. Negara, didalam hal ini, hadir bukan untuk mengakomodir (dan memang mustahil dilakukan, kalaupun mau) setiap perbedaan worldview tersebut, tetapi negara sendiri tidak netral, negara dengan sistem hukum dan kekuatan lembaga dan perangkatnya yang bersifat ”memaksa” justru makin mengkonfirmasi bahwa Negara tidak netral, bahwa negara sendiri memiliki titik acuannya sendiri didalam memandang dan memutuskan segala sesuatu.
Dan di dalam abad ke 21 ini, tidaklah terlalu berlebihan jikalau kita mengatakan bahwa sekularism menjadi worldview yang begitu penting di banyak negara-negara di dunia.
”Secularism” dan Kekristenan
Kata ”sekular” (dari bahasa latin saecularis) memiliki arti ”berkenaan/berkaitan dengan dunia” meskipun memberi kesan yang positif, kata ini justru memberikan kencenderungan konotasi yang negatif. Kata ”secular” secara tradisional dipakai untuk menekankan poin bahwa jika sesuatu itu berkaitan/berkenaan dengan dunia maka sesuatu itu tidak berkaitan/ berkenaan dengan supernatural, agama, gereja, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan sikap anti agama, anti gereja dikalangan sekularis.
Dasar pemikiran sekularis tidak bisa dilepaskan dari bangunan worldview naturalistik sebagai dasarnya. Bahwa pikiran manusia merupakan keutuhan yang bersifat fisik, bahwa segala realita (kenyataan) yang ada itu bersifat fisik semata, Bahwa manusia dapat dimengerti dengan proses reduksi dan cara naturalistik, dan bersama Charles Darwin dengan teori evolusinya, bahwa teori evolusi dapat menjelaskan segalanya, sehingga kita tidak membutuhkan Tuhan, bahwa kehidupan itu sendiri memiliki asal yang bersifat naturalistik semata, dan bukan dari Tuhan. Maka manusia itu adalah Tuhan bagi dirinya sendiri. Dan pandangan ini mendasarkan humanism sebagai worldview dan keyakinannya. Pandangan ini, khususnya didalam manifestasi berikutnya, memberikan hubungan yang jelas antara humanism dan naturalistik, pereduksian kehidupan manusia, dan melahirkan teori politik demokrasi liberal. Pendukung pandangan ini mengklaim bahwa kehidupan manusia adalah hasil dari perubahan evolusi yang dibiarkan berlangsung secara alami tanpa adanya campur tangan dari luar, Bahwa satu-satunya jawaban untuk masyarakat pluralism didalam suatu negara adalah sistem negara seculocracy dan bukan theocracy (karena pluralism berarti juga terdapat banyak kepercayaan dan agama) maka yang kita butuhkan hanyalah pandangan sekuler mengenai moralitas dan politik, dan mengembalikan posisi agama sebagai sesuatu yang bersifat privasi masing-masing.
Nancy Pearsey menyadarkan kita akan adanya penjara dikotomi ini, bahwa seakan-akan sains (termasuk sekularism-naturalistik didalamnya) bersifat netral, obyektif, bebas nilai sehingga bisa diterapkan diwilayah publik, sementara kekristenan bersifat tidak netral, subyektif dan tidak bebas nilai, sehingga hanya bisa diterapkan diwilayah privasi masing-masing.
Menyadari bahwa ada pertentangan worldview disini, maka kita dipanggil untuk menghancurkan penjara dikotomi ini dan mengembalikan otoritas kebenaran Alkitab sebagai kebenaran yang bersifat menyeluruh ke berbagai bidang dan wilayah publik, dan bukan hanya terbatas pada dinding gereja dan privasi semata.
Cornelius Van Til memberikan pandangannya bahwa orang berdosa akan memulai segala pikirannya dengan titik acuan pasti diluar Allah (sebagai Sumber kebenaran itu), maka ketika orang berdosa yang ”buta” itu berusaha untuk mengatur tatanan hukum, masyarakat dan negara itu maka yang terjadi bukanlah suatu keteraturan, tetapi justru akan makin memperparah keadaan yang ada. Segala ide, kepercayaan, nilai yang bukan berasal dari Sang sumber kebenaran itu sendiri, menyebabkan segala hukum, aturan moralitas yang ada bersifat relatif, dan bukan kebenaran absolut. Maka yang kita lihat justru negara harus menggunakan cara kekerasan untuk memaksakan ”kebenaran relatif” untuk menjadi ”kebenaran absolut”. Semakin negara memaksakan ”keabsolutan kebenarannya yang relatif itu” maka justru kerelatifan itu semakin nyata. Maka bagaimana mungkin negara diatur, dipimpin oleh sesuatu yang bersifat relatif, apalagi ditengah pluralism yang makin kental?
Jika berdasarkan pandangan naturalistik, bahwa kehidupan ini tidak memiliki tujuan ultimate didalamnya, dan bahwa kehidupan manusia hanya berdasarkan pada kejadian yang bersifat kebetulan saja, maka sekularism akan sulit menghindari relativism dan bahkan skepticism, khususnya didalam wilayah politik dan etika, dimana pertanyaan besar ada didalamnya, bagaimana sebuah masyarakat diatur dan bagaimana seharusnya manusia hidup.
Maka semua ini harus dimulai dari Sang kebenaran itu sendiri, dimana didalamnya ada kebenaran yang mutlak dan absolut. Panggilan kita adalah bagaimana kita turut berjuang menegakkan kebenaran itu di belantara worldview yang ada, bukan sebagai salah satu alternatif atau pilihan diantara berbagai pilihan/alternatif berbagai worldview yang ada tetapi sebagai bagian dari mandat budaya dan mandat injil yang keduanya tidak dapat dipisahkan tetapi harus dikerjakan secara bersama-sama.
Penutup
Suatu kali saya bertanya dengan Ev. Agus Marjanto di kelas katekisasi: ”Dimana orang Kristen selama ini ? Bukankah harus ada orang Kristen di Kejaksaan, Kehakiman, Kepolisian, DPR, MPR, dan di pos pemerintahan yang lain? Kenapa orang Kristen selama ini lebih memilih untuk berdiri di pinggiran sistem negara ini? Apakah mungkin negara ini terlalu kotor sehingga kita alergi untuk menerjunkan diri di dalamnya?” Maka jawaban beliau mengingatkan kembali hal yang terpenting yaitu bahwa semua itu baik, tetapi harus dikerjakan di dalam kerangka ”panggilan Tuhan”. Apa panggilan hidup kita? Apapun itu, saya tahu bahwa masing-masing anggota tubuh memiliki panggilan dan fungsinya masing-masing, saya tidak tahu apa panggilan hidupmu tetapi satu hal yang saya tahu pasti bahwa kita pasti bukan dipanggil untuk hanya sekedar malu dan bahkan menertawakan bangsa ini.
Malu jadi bangsa Indonesia (yang terutama) bukan malu karena berbagai ketertinggalan negara ini daripada negara lain, Malu jadi bangsa Indonesia bukan malu karena kita merasa bangsa yang lebih rendah derajatnya dari bangsa lain, tapi malu ini karena bangsa ini telah lama berdosa dihadapan Tuhan, sebagaimana Ester malu dihadapan Tuhan karena dosa bangsanya yang telah menumpuk diatas kepala mereka. Inilah malu bangsa Indonesia, inilah malu kita, yang selama ini mungkin tidak pernah punya malu untuk menertawakan berbagai kelemahan bangsa ini, yang tidak pernah punya malu menertawakan diri sendiri, yang sebetulnya itu semua adalah tidak pernah punya malu untuk menertawakan dosa sendiri dihadapan Tuhan. Kiranya makin hari kita boleh makin dibukakan akan kehendak Nya didalam hidup kita. Amin.
[1] Tumanggor Samuel. Demi Allah dan Demi Indonesia.Satu-satu. Indonesia : desember 2006. [2] Rafick Ishak. Catatan hitam lima presiden Indonesia. PT.Cahaya Intan Suci. Indonesia : 2007. [3] Gie, K.K. Pikiran yang terkorupsi. PT. Kompas Media Nusantara.Indonesia : 2006.
[4] Snyders Jack. ”From voting to violence “ : Dari pemungutan suara ke pertumpahan darah.Kepustakaan populer Gramedia. Indonesia : 2003.
[5] Winarta,H.F. Jalan panjang menjadi WNI.PT.Kompas Media Nusantara : Januari 2007.
[6] Sweetman Brendan.”Why politics needs religion “ .Inter varsity press : 2006.
[7] Sukarno. Dibawah bendera revolusi. Panitia Dibawah bendera revolusi. Indonesia : 1965.
[8] Haan, D.R.M. “What I Owe to Government ? “ : Bagaimana bersikap terhadap pemerintah. Yayasan Gloria. Indonesia : 1988.
”Malu (aku) jadi bangsa Indonesia”, merupakan judul buku kumpulan seratus puisi Taufiq Ismail. Malu? Mengapa malu? malu ketika mendapati bangsa-bangsa tetangga yang senasib telah mengatasi badai moneter, sementara negeri ini masih terus menikmati praktek-praktek yang tidak beradab? Juga malu ketika negara ini juga tidak kunjung menorehkan suatu prestasi yang membanggakan diberbagai bidang? Lihat saja, bagaimana Ishak Rafick memaparkan kepada kita bagaimana negara ini sudah kehilangan kedaulatannya sebagai bangsa merdeka yang berdaulat diberbagai bidang (baik politik, teritorial dan ekonomi), dan bagaimana Dr. Kwik Kian Gie dengan begitu cermat menganalisa bahwa berbagai permasalahan di negeri ini karena korupsi, bukan hanya didalam aspek perilaku, tetapi sudah sampai pada pikiran yang terkorupsi. Dan saya percaya masih banyak lagi yang bisa kita kemukakan untuk mencari alasan kenapa kita malu dengan bangsa ini, itupun kalau rasa malu itu masih ada....
Inikah jawaban kenapa nasionalisme itu tidak ada lagi pada diri kita?
Tapi disisi lain, kita juga melihat bagaimana ada sekelompok yang menaruh keprihatinan terhadap hal ini dan dengan mengebu-gebu meneriakkan ”nasionalisme” sebagai sesuatu yang harus diperjuangkan dan ditanamkan di dalam setiap hati bangsa ini, bahkan cenderung mulai mengkritik kelompok lain yang dianggap tidak memiliki nasionalisme ketika memilih pindah dan berkerja di luar negeri misalnya. Sementara disisi lain, Sekjen PDIP Pramono Anung pernah berkata: ”...kita harus membedakan antara apa itu nasionalisme dan apa itu urusan mencari makan sesuap nasi di negara tetangga....” Lalu apakah sebetulnya nasionalisme itu? Dan bagaimana kita sebagai orang Kristen memandang hal ini? Apakah patriotisme itu merupakan suatu berhala lain? Bukankah kita (orang Kristen) hanyalah seorang musafir di dunia yang sementara ini? Bukankah kita ini adalah warga negara surga dan bahwa Indonesia adalah bagian dari dunia yang sementara itu? Jikalau memang benar demikian adanya, lalu kenapa Tuhan menempatkan kita di negara yang namanya Indonesia ? Apakah ini semata kebetulan saja ? Lalu apa relevansinya hal ini dengan mandat injil dan budaya yang kita anut (khususnya di negara ini)?
Nasionalisme
Definisi ilmiah yang paling sering dipakai mengenai nasionalisme adalah yang dibuat oleh Ernest Gellner. Ia merumuskan nasionalisme sebagai doktrin bahwa unit politik (the state) dan unit budaya (the nation) harus berimpit (should be congruent). Ini berarti bahwa Negara, yang merupakan organisasi pelaksana kekuasaan yang berdaulat atas suatu wilayah, harus memerintah atas nama dan demi kepentingan suatu bangsa tertentu (a particular nation), yang didefinisikan sebagai sekelompok orang yang memiliki budaya yang sama.
Jadi menurut pandangan ini, bangsa diartikan sebatas orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama.
Pandangan ini menurut Jack Snyder memiliki banyak kelemahan, mendefinisikan nasionalisme semata-mata dalam pengertian sebudaya tampaknya bakal menyingkirkan dari dalam definisi nasionalisme kesetiaan militan terhadap lembaga-lembaga politik Negara atau berbagai prinsip lain yang tidak berdasarkan budaya.
Bung Karno, sang proklamator itu sendiri memiliki pengertian bangsa bukan sebagai kesamaan latar belakang budaya, dan menolak definisi bangsa hanya dipandang dari sisi biologis semata, tetapi lebih memilih memandang bangsa dari segi sosiologis, yaitu suatu bangsa didasarkan pada komitmen bersama sekelompok orang yang punya nasib sama dan berjuang bersama untuk mencapai kepentingan bersama. Saya sependapat dengan pandangan Bung karno dan Jack Snyder dalam hal ini.
Lalu bagaimana nasionalisme itu berkembang di negara Indonesia... dan bagaimana kaitannya dengan sejarah kekristenan di Indonesia...
Kekristenan dan Nasionalisme Indonesia
Sesuatu yang terhilang....
Hari ini kita hidup di tengah masyarakat Indonesia yang cita kebangsaan/nasionalismenya disebut berada di titik nol oleh Sophan Sophian (tokoh nasionalis). Pada banyak kesempatan, saya menyempatkan berdiskusi dengan sesama umat nasrani mengenai nasionalisme, dan saya menemukan berbagai pandangan, yang paling menonjol adalah agenda nasionalisme tidak pernah mendapat prioritas, bahkan mungkin tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Berbagai alasan diungkapkan, dari diskriminasi kelompok mayoritas dan minoritas, perlakuan tidak adil pemerintah terhadap berbagai kehidupan beragama, terlalu bosan untuk melihat perilaku kaum eksekutif, legislatif dan yudikatif yang tidak beradab, sampai mungkin secara tidak sadar terlalu menekankan ajaran bahwa kita ini hanyalah seorang musafir di dalam dunia yang fana ini.... Yang semuanya mengkerucut membentuk kekecewaan dan ketidakperdulian terhadap bangsa dan negara ini.
Sejarah Kelam “Kekristenan“ di Indonesia
Pada kesempatan ini, saya akan memaparkan sedikit mengenai sejarah Indonesia khususnya dikaitkan dengan perjalanan perkembangan kekristenan.
Kita harus akui sejarah Indonesia memberikan kesan bahwa kekristenan identik dengan agama penjajah, agama kompeni, agama yang menindas bangsa Indonesia.Sejarah membuktikan bagaimana kerakusan negara-negara penjajah itu memeras, merampas, menindas negeri ini selama 350 tahun. Keganasan imperialisme dan kolonialisme itu meninggalkan kesan mendalam yang tidak mudah dihapuskan dari bangsa ini. Banyak tulisan akan memberitahu kita bahwa orang belanda memakai istilah ”inlander” yang artinya kera-kera penghuni suatu pulau, untuk dirujuk kepada bangsa Indonesia, bangsa jajahan saat itu. Kera! Monyet! leluhur kita dikera-kera kan oleh belanda sampai mereka percaya bahwa mereka memang serendah kera. Kekeraan itu kemudian mereka wariskan kepada kita yang sampai saat ini tetap memandang rendah kebangsaan kita dan Cuma pintar jadi kera peniru bangsa asing saja.
Kemarahan ini mendorong R.A. Kartini berkata : ”orang terlalu sering lupa, bahwa ”negeri kera yang brengsek” itu telah mengisi beberapa saku kosong (orang belanda) dengan emas, kalau mereka pulang ke tanah air (Belanda) setelah tinggal disini beberapa tahun.”
Bagaimana mungkin negara yang dahulunya berlandaskan kekristenan mempraktekkan imperialisme dan kolonialisme yang keji itu?
Bagaimana semuanya itu terjadi?
Dahulu, sebelum abad ke-10, boleh dikatakan bangsa Eropa hidup dalam kebodohan dan kegelapan, sampai-sampai disebut barbar oleh sesama kulit putih, bangsa Yunani dan Romawi. Tidak ada peradaban tinggi yang mereka hasilkan, tetapi sewaktu Injil masuk, maka peradaban mulai berkembang, setelah 5 abad, mereka mulai melesat meninggalkan bangsa-bangsa lain, Puncaknya adalah peristiwa besar pada abad 16 : Pemampangan 95 dalil oleh Martin Luther di Wittenberg yang menandai kelahiran gerakan protestan. Dalil-dalil itu menepis segala kebodohan, membuang segala takhyul, Alkitab kembali ditaati dan dijunjung tinggi. Johannes Calvin tampil setelah Luther dan merumuskan ajaran Protestan yang lebih sistematis. Etos kerja kekristenan dibangun dan hasilnya bangsa-bangsa eropa mencapai kejayaan yang mencengangkan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya kita melihat bagaimana kemudian bangsa-bangsa ini menjadi durhaka dan anti Allah. Kekenyangan berkat justru mencetuskan ribuan hujatan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cotton Mather, pendeta puritan di awal negara AS, meratap: ”Agama melahirkan kemakmuran, lalu anak perempuan itu membunuh ibunya.” Lalu kita menyaksikan bagaimana bangsa-bangsa barat memakai kekuatannya untuk menjajah bangsa-bangsa lain. Setelah masa penjajahan berlalu, mereka pun masih memakai kekayaannya untuk memasung bangsa-bangsa lain secara ekonomi (dalam hal ini Ishak Rafick bersama Dr. Kwik Kian Gie menggambarkan dengan begitu baik, bagaimana kejatuhan Indonesia didalam krisis moneter yang tidak kunjung pulih juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai manuver bank dunia, IMF, dan negara-negara G 7).
Sebab itu banyak orang (termasuk Max Weber (1864-1920), pakar kemasyarakatan asal jerman) menuding Calvin sebagai pangkal segala keburukan yang timbul dari kapitalisme ini. Tentu saja tudingan itu wajib ditangkis. Tentu tidak adil kalau kesalahan diletakkan pada Calvin atau etika kristen. Kesalahan seharusnya diletakkan pada manusia-manusia berhati serakah yang gemar memakai apa yang baik untuk tujuan yang tidak baik. Falsafah ekonomi Calvin bukanlah falsafah mencari laba tetapi falsafah pelayanan. Calvin membangun dasar bagi etika kerja yang begitu efisien, kalau kemudian kejayaan yang diperoleh dipakai beberapa orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri, itu adalah penduniawiaan, bahkan pemutarbalikkan ajaran Calvin.
Tetapi apakah bangsa Indonesia mengerti hal ini, ditengah rendahnya pendidikan mereka sebagai bangsa jajahan, yang mereka tahu, agama kristen masuk bersamaan dengan bangsa penjajah yang masuk dan memeras mereka.
Bukankah saat Abraham Kuyper menjadi Perdana Menteri, saat itu negaranya masih menjajah negara ini ? Memang saat itu Abraham Kuyper memelopori ”politik balas budi” untuk bangsa Indonesia, tetapi pertanyaannya apakah itu memberikan perubahan yang signifikan? Kita melihat bagaimana susunan dan tata kelas masyarakat yang dibentuk oleh Belanda (bahwa Belanda adalah kelas 1, China kelas 2, Pribumi kelas 3 ) memberikan implikasi yang panjang. Kejadian kerusuhan Mei 1998, dan bagaimana diskriminasi etnis Tionghoa dengan berbagai permasalahannya tidak bisa dilepaskan dari akar masalah di sistem kelas yang diciptakan Belanda. Pola pikir ini terus dikembangkan pada zaman Suharto, menimbulkan kekecewaan mendalam pada kaum minoritas (dari kasus SKBRI sampai hak hidup dinegara ini). Kekecewaan mendalam ini memberikan efek lingkaran setan yang terus memperlebar jurang perbedaan diantara minoritas dan mayoritas.
Bukan maksud saya untuk membangkitkan kembali kebencian itu, tetapi saya ingin menunjukan bahwa kita kaum kristen tidak terlalu memiliki modal start yang baik di negeri ini.Ketika kita dipanggil untuk menjalankan mandat injil itu, ini sedikit banyak menimbulkan kesulitan. Harapan saya dengan mempelajari sejarah ini, memberikan perspektif yang lebih lengkap dan luas mengenai negara ini dan memberikan kita bijaksana untuk mengambil sikap dalam hal ini.
Sebagaimana alkitab adalah kitab yang jujur mengungkapkan apa adanya tentang bangsa israel dan tokoh-tokoh iman didalamnya. Dengan segala keteladanan dan keberdosaan mereka, bukan dengan maksud untuk dihina tetapi karena ada sesuatu yang Tuhan mau kita belajar didalamnya.
Sebagaimana Nancy Pearsey didalam bukunya ” Total Truth” menceritakan bagaimana ”gereja” melakukan kesalahan didalam menanggapi kasus Galileo Galilei dan Copernicus mengakibatkan dikotomi Iman dan sains ( ilmu pengetahuan ), Maksudnya adalah bukan untuk mendeskriditkan kekristenan itu sendiri tetapi melalui sejarah, kita bisa belajar bagaimana kita harus bersikap di masa kini.
Ketika kita sudah terlalu kecewa dengan berbagai perlakuan diskriminatif dan tidak adil oleh pemerintah, maka saya ingin mengatakan bahwa bangsa jangan disamakan dengan pemerintah atau rezim. Pemerintah adalah sekelompok orang yang memegang tampuk kekuasaan atas suatu bangsa, sedangkan bangsa adalah seluruh manusia dalam bangsa itu, termasuk orang-orang pemerintahannya. Pemerintah hanyalah unsur kecil dari bangsa (meskipun menjadi penentu banyak hal). Orang-orangnya bisa berganti, ideologinya bisa bertukar, kebijakan-kebijakannya bisa berubah, tetapi bangsa tetaplah bangsa. Memang kita akui bahwa pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan, tetapi masakan bangsa Indonesia secara keseluruhan yang harus menganggung dakwaan kita? Saya sering mendengar Gus Dur berkata bahwa ” majority is silent ”, artinya tidak selalu kebijakan pemerintah itu sinkron dengan kehendak bangsa secara keseluruhan. Nasionalisme saya bukan mengacu pada suatu rezim atau pemerintahan, tetapi mengacu kepada konsep bangsa.
Lalu apa hubungannya semua ini dengan kekristenan? bukankah kita ini hanyalah seorang musafir ditengah dunia yang fana ini, bahwa kita orang percaya adalah warga negara surga?
Pertanyaan ini membutuhkan penjelasan yang panjang, karena yang terjadi disini adalah kekeliruan cara pandang yang mendasar. Tetapi penjelasan J.I Packer dibawah ini sangat baik: ”Paradoks dalam kehidupan kristiani adalah bahwa semakin seorang percaya tertarik pada perkara surgawi, semakin dalam ia menaruh perhatian agar kehendak Allah digenapi didunia ini.”
Samuel Tamunggor memberikan kita sisi lain ini.
Mari kita bercermin kepada negara Korea. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1970-an hanya ada 5% warga korea selatan yang beragama nasrani. Hari ini, lebih dari seperempat abad kemudian, jumlah itu meningkat menjadi 49% betapa pesatnya! Apa kiatnya? Dr. Anne Ruck di dalam bukunya ”Sejarah gereja Asia memberikan penjelasannya: ”Dari permulaannya gereja mendukung serta mengembangkan kebudayaan khas bangsa Korea, sehingga kekristenan dianggap mendukung pergumulan bangsa korea. Berbeda dengan gereja di negara-negara lain, gereja Korea tidak disamakan dengan penjajah. Kekristenan di Korea tidak pernah berkaitan dengan imperialisme barat, tetapi berkaitan erat dengan nasionalisme Korea....”
Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan ini, tetapi saya tahu ada hal penting yang ingin disampaikan didalamnya, saya pun berharap kita bisa menangkapnya.
Bukankah awal dari setiap kebangunan rohani di setiap negara, itu bermula dari kepedulian kita terhadap negara tersebut. Benar bahwa dibalik setiap kebangunan itu Allah yang berkehendak, Allah yang berkarya, dan Tuhan mengerakkan setiap anak-anakNya untuk giat menginjili. Tetapi mungkinkah kita punya hati untuk menginjili kalau kita tidak punya kepedulian terhadap bangsa ini? Tidak mengasihi bangsa yang besar ini? Bukankah disaat minoritas itu melebur menjadi satu dengan mayoritas, maka saat itu tidak ada lagi dikotomi mayoritas dan minoritas?
Tetapi ketika kita mendengar bahwa ada sekelompok orang yang terlalu menganggung-agungkan nasionalisme mereka, apakah betul nasionalisme itu netral dan bebas nilai? Apakah benar seorang nasionalis itu pasti Alkitabiah? lalu bagaimana seharusnya kekristenan bersikap mengenai ini?
Suatu kali didalam kesempatan yang sangat langka, ketika FIRES diberi kesempatan bertemu dengan Pdt. Dr. Stephen Tong, saya bertanya tentang: ” Bagaimana gerakan ini memandang nasionalisme ?” Beliau menjawab: ”Ketika kita memiliki nasionalisme sejati, maka saat itu kita menerima segala perbedaan.” Jujur, saya tidak mengerti perkataan itu, mungkin lebih tepatnya jawaban itu tidak sesuai dengan harapan saya. Jawaban itu tidak se”patriotik” yang ada di kepala saya, yang sudah sejak lama diisi dengan konsep nasionalisme karismatiknya bung Karno. Di dalam kenaifan saya yang mengira bahwa nasionalisme itu obyektif, bebas nilai dan netral, dan sudah seharusnyalah bahwa setiap orang Kristen memiliki konsep nasionalisme yang saya anut. Sampai pada suatu kali Tuhan membuka mata saya mengenai hal ini.
Nasionalisme, Politik, dan Negara
Belantara Worldview Di Dalamnya
Akhir-akhir ini kita melihat bagaimana beberapa tokoh nasional mengunakan label nasionalisme untuk mencari dukungan massa pada pemilihan presiden di tahun 2009. Terdengar begitu patriotik dan begitu simpatik, tetapi sesungguhnya sarat dengan kepentingan elit politik tertentu. Inilah yang diungkapkan oleh Jack Snyders, bahwa nasionalisme sering dipakai oleh elite politik tertentu untuk mencapai kepentingannya sendiri. Dia mencontohkan bagaimana proses nasionalisme revolusioner di Perancis, nasionalisme kontra revolusioner di Jerman, nasionalisme sipil di Britania Raya sampai ke nasionalisme SARA di Rwanda, keseluruhannya tidak lepas dari berbagai peranan elite politik didalam memperjuangkan kepentingannya sendiri.
Konsep nasionalisme yang sempit seringkali justru membawa sikap bermusuhan dan berujung dengan peperangan antar negara. Ini langsung menyadarkan saya mengenai jawaban Pdt. Dr. Stephen Tong atas pertanyaan saya.
Nasionalisme didalam prakteknya didalam kehidupan berpolitik dan bernegara tidak pernah netral. Masyarakat secara konstan terus dibentuk oleh berbagai ide, kepercayaan dan nilai. Pluralisme didalam masyarakat membuat kita berhadapan dengan berbagai cara pandang (worldview) yang berbeda-beda. Negara, didalam hal ini, hadir bukan untuk mengakomodir (dan memang mustahil dilakukan, kalaupun mau) setiap perbedaan worldview tersebut, tetapi negara sendiri tidak netral, negara dengan sistem hukum dan kekuatan lembaga dan perangkatnya yang bersifat ”memaksa” justru makin mengkonfirmasi bahwa Negara tidak netral, bahwa negara sendiri memiliki titik acuannya sendiri didalam memandang dan memutuskan segala sesuatu.
Dan di dalam abad ke 21 ini, tidaklah terlalu berlebihan jikalau kita mengatakan bahwa sekularism menjadi worldview yang begitu penting di banyak negara-negara di dunia.
”Secularism” dan Kekristenan
Kata ”sekular” (dari bahasa latin saecularis) memiliki arti ”berkenaan/berkaitan dengan dunia” meskipun memberi kesan yang positif, kata ini justru memberikan kencenderungan konotasi yang negatif. Kata ”secular” secara tradisional dipakai untuk menekankan poin bahwa jika sesuatu itu berkaitan/berkenaan dengan dunia maka sesuatu itu tidak berkaitan/ berkenaan dengan supernatural, agama, gereja, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan sikap anti agama, anti gereja dikalangan sekularis.
Dasar pemikiran sekularis tidak bisa dilepaskan dari bangunan worldview naturalistik sebagai dasarnya. Bahwa pikiran manusia merupakan keutuhan yang bersifat fisik, bahwa segala realita (kenyataan) yang ada itu bersifat fisik semata, Bahwa manusia dapat dimengerti dengan proses reduksi dan cara naturalistik, dan bersama Charles Darwin dengan teori evolusinya, bahwa teori evolusi dapat menjelaskan segalanya, sehingga kita tidak membutuhkan Tuhan, bahwa kehidupan itu sendiri memiliki asal yang bersifat naturalistik semata, dan bukan dari Tuhan. Maka manusia itu adalah Tuhan bagi dirinya sendiri. Dan pandangan ini mendasarkan humanism sebagai worldview dan keyakinannya. Pandangan ini, khususnya didalam manifestasi berikutnya, memberikan hubungan yang jelas antara humanism dan naturalistik, pereduksian kehidupan manusia, dan melahirkan teori politik demokrasi liberal. Pendukung pandangan ini mengklaim bahwa kehidupan manusia adalah hasil dari perubahan evolusi yang dibiarkan berlangsung secara alami tanpa adanya campur tangan dari luar, Bahwa satu-satunya jawaban untuk masyarakat pluralism didalam suatu negara adalah sistem negara seculocracy dan bukan theocracy (karena pluralism berarti juga terdapat banyak kepercayaan dan agama) maka yang kita butuhkan hanyalah pandangan sekuler mengenai moralitas dan politik, dan mengembalikan posisi agama sebagai sesuatu yang bersifat privasi masing-masing.
Nancy Pearsey menyadarkan kita akan adanya penjara dikotomi ini, bahwa seakan-akan sains (termasuk sekularism-naturalistik didalamnya) bersifat netral, obyektif, bebas nilai sehingga bisa diterapkan diwilayah publik, sementara kekristenan bersifat tidak netral, subyektif dan tidak bebas nilai, sehingga hanya bisa diterapkan diwilayah privasi masing-masing.
Menyadari bahwa ada pertentangan worldview disini, maka kita dipanggil untuk menghancurkan penjara dikotomi ini dan mengembalikan otoritas kebenaran Alkitab sebagai kebenaran yang bersifat menyeluruh ke berbagai bidang dan wilayah publik, dan bukan hanya terbatas pada dinding gereja dan privasi semata.
Cornelius Van Til memberikan pandangannya bahwa orang berdosa akan memulai segala pikirannya dengan titik acuan pasti diluar Allah (sebagai Sumber kebenaran itu), maka ketika orang berdosa yang ”buta” itu berusaha untuk mengatur tatanan hukum, masyarakat dan negara itu maka yang terjadi bukanlah suatu keteraturan, tetapi justru akan makin memperparah keadaan yang ada. Segala ide, kepercayaan, nilai yang bukan berasal dari Sang sumber kebenaran itu sendiri, menyebabkan segala hukum, aturan moralitas yang ada bersifat relatif, dan bukan kebenaran absolut. Maka yang kita lihat justru negara harus menggunakan cara kekerasan untuk memaksakan ”kebenaran relatif” untuk menjadi ”kebenaran absolut”. Semakin negara memaksakan ”keabsolutan kebenarannya yang relatif itu” maka justru kerelatifan itu semakin nyata. Maka bagaimana mungkin negara diatur, dipimpin oleh sesuatu yang bersifat relatif, apalagi ditengah pluralism yang makin kental?
Jika berdasarkan pandangan naturalistik, bahwa kehidupan ini tidak memiliki tujuan ultimate didalamnya, dan bahwa kehidupan manusia hanya berdasarkan pada kejadian yang bersifat kebetulan saja, maka sekularism akan sulit menghindari relativism dan bahkan skepticism, khususnya didalam wilayah politik dan etika, dimana pertanyaan besar ada didalamnya, bagaimana sebuah masyarakat diatur dan bagaimana seharusnya manusia hidup.
Maka semua ini harus dimulai dari Sang kebenaran itu sendiri, dimana didalamnya ada kebenaran yang mutlak dan absolut. Panggilan kita adalah bagaimana kita turut berjuang menegakkan kebenaran itu di belantara worldview yang ada, bukan sebagai salah satu alternatif atau pilihan diantara berbagai pilihan/alternatif berbagai worldview yang ada tetapi sebagai bagian dari mandat budaya dan mandat injil yang keduanya tidak dapat dipisahkan tetapi harus dikerjakan secara bersama-sama.
Penutup
Suatu kali saya bertanya dengan Ev. Agus Marjanto di kelas katekisasi: ”Dimana orang Kristen selama ini ? Bukankah harus ada orang Kristen di Kejaksaan, Kehakiman, Kepolisian, DPR, MPR, dan di pos pemerintahan yang lain? Kenapa orang Kristen selama ini lebih memilih untuk berdiri di pinggiran sistem negara ini? Apakah mungkin negara ini terlalu kotor sehingga kita alergi untuk menerjunkan diri di dalamnya?” Maka jawaban beliau mengingatkan kembali hal yang terpenting yaitu bahwa semua itu baik, tetapi harus dikerjakan di dalam kerangka ”panggilan Tuhan”. Apa panggilan hidup kita? Apapun itu, saya tahu bahwa masing-masing anggota tubuh memiliki panggilan dan fungsinya masing-masing, saya tidak tahu apa panggilan hidupmu tetapi satu hal yang saya tahu pasti bahwa kita pasti bukan dipanggil untuk hanya sekedar malu dan bahkan menertawakan bangsa ini.
Malu jadi bangsa Indonesia (yang terutama) bukan malu karena berbagai ketertinggalan negara ini daripada negara lain, Malu jadi bangsa Indonesia bukan malu karena kita merasa bangsa yang lebih rendah derajatnya dari bangsa lain, tapi malu ini karena bangsa ini telah lama berdosa dihadapan Tuhan, sebagaimana Ester malu dihadapan Tuhan karena dosa bangsanya yang telah menumpuk diatas kepala mereka. Inilah malu bangsa Indonesia, inilah malu kita, yang selama ini mungkin tidak pernah punya malu untuk menertawakan berbagai kelemahan bangsa ini, yang tidak pernah punya malu menertawakan diri sendiri, yang sebetulnya itu semua adalah tidak pernah punya malu untuk menertawakan dosa sendiri dihadapan Tuhan. Kiranya makin hari kita boleh makin dibukakan akan kehendak Nya didalam hidup kita. Amin.
[1] Tumanggor Samuel. Demi Allah dan Demi Indonesia.Satu-satu. Indonesia : desember 2006. [2] Rafick Ishak. Catatan hitam lima presiden Indonesia. PT.Cahaya Intan Suci. Indonesia : 2007. [3] Gie, K.K. Pikiran yang terkorupsi. PT. Kompas Media Nusantara.Indonesia : 2006.
[4] Snyders Jack. ”From voting to violence “ : Dari pemungutan suara ke pertumpahan darah.Kepustakaan populer Gramedia. Indonesia : 2003.
[5] Winarta,H.F. Jalan panjang menjadi WNI.PT.Kompas Media Nusantara : Januari 2007.
[6] Sweetman Brendan.”Why politics needs religion “ .Inter varsity press : 2006.
[7] Sukarno. Dibawah bendera revolusi. Panitia Dibawah bendera revolusi. Indonesia : 1965.
[8] Haan, D.R.M. “What I Owe to Government ? “ : Bagaimana bersikap terhadap pemerintah. Yayasan Gloria. Indonesia : 1988.