Gaya Bahasa dalam Sastra: Allah Tritunggal Menjawab!
By Erwan
Reprinted from PILLAR Magazine No. 58 - May 2008
Saat kita membaca sebuah karya sastra – baik itu novel, cerpen, maupun puisi – yang membuat kita kagum – selain alur cerita, karakter, setting, dan tema – tentu saja adalah style, yaitu gaya penulisannya. Setiap penulis yang baik mempunyai style yang unik dan menarik. Di dalam ilmu bahasa (linguistik), cabang yang mempelajari tentang style penulisan adalah stylistic. Tugas stylistic adalah mempelajari dan menjelaskan mengapa dan bagaimana style dapat mengutarakan arti dan makna, lalu memberikan efek yang diinginkan penulis pada pembaca.
Setelah selesai membaca sebuah tulisan, mungkin kita pernah mengeluarkan komentar-komentar seperti, “Bahasanya puitis sekali” atau “Pendeskripsian dalam teks ini sangat nyata”. Orang yang dapat mengeluarkan pernyataan seperti di atas secara tidak sadar mengakui adanya perbedaan FORM dan CONTENT, MANNER dan MATTER, EXPRESSION dan MESSAGE. Di dalam stylistic, orang-orang yang memisahkan isi dari bentuk termasuk dalam kategori dualisme.
Dualisme dalam stylistic dapat dibagi menjadi dua macam. Satu macam mengatakan bahwa style adalah pakaian dari buah pikiran. Jadi buah pikiran perlu diberi pakaian yang bagus supaya dapat diterima dengan baik oleh pembaca. Tujuan style adalah mendandani, menghiasi, dan mendekorasi buah pikiran. Buah pikiran yang sama dapat mengenakan pakaian yang berbeda-beda, bahkan ia dapat melepaskan pakaian style dan menjadi telanjang. Jika itu yang dilakukan, lahirlah tulisan yang tidak ber-style.
Dualisme macam yang kedua mengatakan bahwa style hanyalah masalah cara penyampaian. Dualisme jenis ini membedakan elemen invariant dari elemen variant di dalam sebuah tulisan. Elemen invariant adalah elemen yang tidak dapat diganti-ganti, sedangkan elemen variant adalah elemen yang dapat secara bebas diganti-ganti. Kita ambil contoh permainan tenis meja. Di dalam permainan tersebut, ada satu set peraturan yang harus diikuti setiap pemain (invariant), misalnya harus memukul bergantian jika bermain double, satu pemain mendapat giliran service lima kali sebelum giliran service diberikan kepada pihak lawan, dan sebagainya. Namun dalam permainan itu juga ada cara memukul bola yang beraneka ragam. Pemain tenis meja dengan bebas berpindah-pindah dari satu jenis pukulan ke jenis pukulan lain (variant), misalnya pukulan
backhand, forehand, smash, bola spin, dan lain-lain. Elemen invariant bersifat mengikat, sedangkan yang variant tidak.
Bagi kaum dualis, isi bersifat invariant, sedangkan style bersifat variant, maka sebuah kalimat dapat diparafrase tanpa mengubah arti kalimat tersebut. Misalnya,
[1] Desdemona mengambil sebuah kursi, lalu mendudukinya.
Parafrase:
[1a] Sebuah kursi diambil oleh Desdemona, kemudian didudukinya.
[1b] Desdemona mengambil dan menduduki sebuah kursi.
[1c] Desdemona mengambil sebuah kursi dan kemudian mendudukinya.
Demikianlah untuk dualisme. Kita akan kembali nanti untuk mengkritisi pandangan tersebut dan menunjukkan kesalahannya. Sekarang mari kita meninjau lagi sebuah pandangan yang berseberangan dengan dualisme: monisme. Bagi monisme, style dan isi tidak dapat dibedakan, sehingga Archibald Macleish menulis, “A poem should not mean but be.” Form adalah content dan content adalah form yang kita lihat; di antara keduanya tidak ada perbedaan sama sekali. Untuk membuktikan hal ini, orang monis, misalnya, akan menantang orang dualis untuk memparafrasekan syair puisi, seperti katakanlah puisi Chairil Anwar berikut.
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
Apa yang akan ikut hilang jika kita menghilangkan salah satu ‘kau’ di baris pertama dan ketujuh dari puisi ini? Kita tidak dapat menghilangkan salah satu ‘kau’ tanpa juga mengurangi emosi dari puisi ini. Setiap baris dari puisi di atas dirangkai dengan kata-kata yang dipilih dan disusun dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Memparafrase puisi di atas akan memporakporandakan makna keseluruhan ‘Penerimaan’.
Dengan alasan inilah kaum monis berargumen bahwa sebuah kalimat tidak dapat diparafrasekan tanpa mengubah artinya. Karena style adalah isi dan isi adalah style, mengubah style sama saja dengan mengubah isi.
Ada anggapan bahwa dualisme lebih cocok dengan prosa karena prosa lebih mudah diparafrasekan daripada puisi, sedangkan monisme lebih berjodoh dengan puisi karena kita tidak dapat memparafrasekan puisi tanpa mengubah artinya. Namun mari kita coba melihat bagaimana monisme ternyata juga dapat menantang dualisme di kandangnya sendiri. Mari kita
ambil contoh [1] dan ketiga parafrasenya. [1a] tidaklah sama persis dengan [1] karena objek kalimat disebut terlebih dahulu, menandakan penekanan sudah dipindahkan dari ‘Desdemona’ ke ‘kursi’. [1b] sedikit ambigu karena berdasarkan informasi yang kita dapatkan dari kalimat [1b], kursi yang diambil belum tentu juga kursi yang diduduki oleh Desdemona. [1c] menggantikan jeda koma dengan menggabungkan kedua klausa menjadi satu. Penggabungan ini memberikan efek aliran yang lebih cepat pada lajunya kalimat. Ini dapat mengindikasikan betapa cepatnya Desdemona duduk setelah mengambil kursi.
Penjelasannya orang monisme cukup masuk akal sampai di sini, tapi bagaimana dengan dua parafrase di bawah ini?
[1] Desdemona mengambil sebuah kursi, lalu mendudukinya.
[1d] Desdemona mengambil sebuah bangku, lalu mendudukinya.
[1e] Desdemona mengambil sebuah kursi, kemudian mendudukinya.
Meskipun tidak terlalu tepat jika disebut parafrase, kedua contoh di atas juga adalah variasi yang sah dari [1]. Menghadapi ini, para monis pertama-tama mungkin akan mencari, dan jika mereka beruntung, akan menemukan perbedaan arti antara ‘bangku’ dengan ‘kursi’, dan antara ‘lalu’ dengan ‘kemudian’. Jika mereka tidak berhasil, maka kedua, mereka dapat saja berargumen tentang tidak samanya panjang kalimat [1] dibandingkan dengan [1d] dan [1e]. Di dalam penulisan, keekonomisan kalimat juga dapat mengungkapkan makna. Ketiga, ketiga kalimat tersebut juga berbeda di dalam bunyi, yang sangat sering menjadi media penulis, terutama penyair, untuk mengantarkan makna. Ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada pilihan yang netral. Tidak ada style yang netral: semua pilihan adalah menyangkut makna.
By Erwan
Reprinted from PILLAR Magazine No. 58 - May 2008
Saat kita membaca sebuah karya sastra – baik itu novel, cerpen, maupun puisi – yang membuat kita kagum – selain alur cerita, karakter, setting, dan tema – tentu saja adalah style, yaitu gaya penulisannya. Setiap penulis yang baik mempunyai style yang unik dan menarik. Di dalam ilmu bahasa (linguistik), cabang yang mempelajari tentang style penulisan adalah stylistic. Tugas stylistic adalah mempelajari dan menjelaskan mengapa dan bagaimana style dapat mengutarakan arti dan makna, lalu memberikan efek yang diinginkan penulis pada pembaca.
Setelah selesai membaca sebuah tulisan, mungkin kita pernah mengeluarkan komentar-komentar seperti, “Bahasanya puitis sekali” atau “Pendeskripsian dalam teks ini sangat nyata”. Orang yang dapat mengeluarkan pernyataan seperti di atas secara tidak sadar mengakui adanya perbedaan FORM dan CONTENT, MANNER dan MATTER, EXPRESSION dan MESSAGE. Di dalam stylistic, orang-orang yang memisahkan isi dari bentuk termasuk dalam kategori dualisme.
Dualisme dalam stylistic dapat dibagi menjadi dua macam. Satu macam mengatakan bahwa style adalah pakaian dari buah pikiran. Jadi buah pikiran perlu diberi pakaian yang bagus supaya dapat diterima dengan baik oleh pembaca. Tujuan style adalah mendandani, menghiasi, dan mendekorasi buah pikiran. Buah pikiran yang sama dapat mengenakan pakaian yang berbeda-beda, bahkan ia dapat melepaskan pakaian style dan menjadi telanjang. Jika itu yang dilakukan, lahirlah tulisan yang tidak ber-style.
Dualisme macam yang kedua mengatakan bahwa style hanyalah masalah cara penyampaian. Dualisme jenis ini membedakan elemen invariant dari elemen variant di dalam sebuah tulisan. Elemen invariant adalah elemen yang tidak dapat diganti-ganti, sedangkan elemen variant adalah elemen yang dapat secara bebas diganti-ganti. Kita ambil contoh permainan tenis meja. Di dalam permainan tersebut, ada satu set peraturan yang harus diikuti setiap pemain (invariant), misalnya harus memukul bergantian jika bermain double, satu pemain mendapat giliran service lima kali sebelum giliran service diberikan kepada pihak lawan, dan sebagainya. Namun dalam permainan itu juga ada cara memukul bola yang beraneka ragam. Pemain tenis meja dengan bebas berpindah-pindah dari satu jenis pukulan ke jenis pukulan lain (variant), misalnya pukulan
backhand, forehand, smash, bola spin, dan lain-lain. Elemen invariant bersifat mengikat, sedangkan yang variant tidak.
Bagi kaum dualis, isi bersifat invariant, sedangkan style bersifat variant, maka sebuah kalimat dapat diparafrase tanpa mengubah arti kalimat tersebut. Misalnya,
[1] Desdemona mengambil sebuah kursi, lalu mendudukinya.
Parafrase:
[1a] Sebuah kursi diambil oleh Desdemona, kemudian didudukinya.
[1b] Desdemona mengambil dan menduduki sebuah kursi.
[1c] Desdemona mengambil sebuah kursi dan kemudian mendudukinya.
Masih banyak kemungkinan parafrase yang dapat dirangkai untuk kalimat [1]. Bagi seorang dualis, kalimat [1a], [1b], dan [1c] mempunyai arti yang sama dengan [1].
Demikianlah untuk dualisme. Kita akan kembali nanti untuk mengkritisi pandangan tersebut dan menunjukkan kesalahannya. Sekarang mari kita meninjau lagi sebuah pandangan yang berseberangan dengan dualisme: monisme. Bagi monisme, style dan isi tidak dapat dibedakan, sehingga Archibald Macleish menulis, “A poem should not mean but be.” Form adalah content dan content adalah form yang kita lihat; di antara keduanya tidak ada perbedaan sama sekali. Untuk membuktikan hal ini, orang monis, misalnya, akan menantang orang dualis untuk memparafrasekan syair puisi, seperti katakanlah puisi Chairil Anwar berikut.
PENERIMAAN
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi
Apa yang akan ikut hilang jika kita menghilangkan salah satu ‘kau’ di baris pertama dan ketujuh dari puisi ini? Kita tidak dapat menghilangkan salah satu ‘kau’ tanpa juga mengurangi emosi dari puisi ini. Setiap baris dari puisi di atas dirangkai dengan kata-kata yang dipilih dan disusun dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Memparafrase puisi di atas akan memporakporandakan makna keseluruhan ‘Penerimaan’.
Dengan alasan inilah kaum monis berargumen bahwa sebuah kalimat tidak dapat diparafrasekan tanpa mengubah artinya. Karena style adalah isi dan isi adalah style, mengubah style sama saja dengan mengubah isi.
Ada anggapan bahwa dualisme lebih cocok dengan prosa karena prosa lebih mudah diparafrasekan daripada puisi, sedangkan monisme lebih berjodoh dengan puisi karena kita tidak dapat memparafrasekan puisi tanpa mengubah artinya. Namun mari kita coba melihat bagaimana monisme ternyata juga dapat menantang dualisme di kandangnya sendiri. Mari kita
ambil contoh [1] dan ketiga parafrasenya. [1a] tidaklah sama persis dengan [1] karena objek kalimat disebut terlebih dahulu, menandakan penekanan sudah dipindahkan dari ‘Desdemona’ ke ‘kursi’. [1b] sedikit ambigu karena berdasarkan informasi yang kita dapatkan dari kalimat [1b], kursi yang diambil belum tentu juga kursi yang diduduki oleh Desdemona. [1c] menggantikan jeda koma dengan menggabungkan kedua klausa menjadi satu. Penggabungan ini memberikan efek aliran yang lebih cepat pada lajunya kalimat. Ini dapat mengindikasikan betapa cepatnya Desdemona duduk setelah mengambil kursi.
Penjelasannya orang monisme cukup masuk akal sampai di sini, tapi bagaimana dengan dua parafrase di bawah ini?
[1] Desdemona mengambil sebuah kursi, lalu mendudukinya.
[1d] Desdemona mengambil sebuah bangku, lalu mendudukinya.
[1e] Desdemona mengambil sebuah kursi, kemudian mendudukinya.
Meskipun tidak terlalu tepat jika disebut parafrase, kedua contoh di atas juga adalah variasi yang sah dari [1]. Menghadapi ini, para monis pertama-tama mungkin akan mencari, dan jika mereka beruntung, akan menemukan perbedaan arti antara ‘bangku’ dengan ‘kursi’, dan antara ‘lalu’ dengan ‘kemudian’. Jika mereka tidak berhasil, maka kedua, mereka dapat saja berargumen tentang tidak samanya panjang kalimat [1] dibandingkan dengan [1d] dan [1e]. Di dalam penulisan, keekonomisan kalimat juga dapat mengungkapkan makna. Ketiga, ketiga kalimat tersebut juga berbeda di dalam bunyi, yang sangat sering menjadi media penulis, terutama penyair, untuk mengantarkan makna. Ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada pilihan yang netral. Tidak ada style yang netral: semua pilihan adalah menyangkut makna.
Akan tetapi, dengan pendiriannya bahwa isi dan style adalah dua hal yang sama, monisme mengabaikan fakta bahwa setiap tulisan itu dituliskan tentang sesuatu di luar bahasa. Isi dan style tentu saja adalah dua hal yang berbeda. Isi adalah dunia atau konsep di luar bahasa, sedangkan style adalah bahasa yang digunakan untuk mengutarakan konsep itu. Mari kita lihat salah satu contoh kesalahan monisme sebagai implikasi dari teorinya tentang kesamaan isi-style. Bagi monisme, kedua kalimat di bawah ini hanyalah masalah perbedaan style:
[2] Sambil duduk dengan santai, Desdemona menyeruput kopi dan membaca koran.[3] Sambil duduk dengan santai, kambing itu menyeruput kopi dan membaca koran.
Dengan catatan bahwa Desdemona bukan nama seekor kambing, kita tahu bahwa perbedaan [2] dan [3] bukanlah pada style tetapi pada peristiwa yang mereka gambarkan, yaitu isinya. Dengan menggantikan kata ‘Desdemona’ dengan ‘kambing itu’, saya sama sekali bukan sedang mengganti gaya bahasa saya, tetapi saya mengganti dunia di dalam kalimat [2] dengan sebuah dunia yang sama sekali berbeda, dunia di mana kambing bisa bertingkah laku seperti manusia.
Kesalahan kaum monisme adalah mereka tidak membedakan antara bekerja di dalam bahasa dengan bekerja melalui bahasa. Pada kenyataannya, bekerja di dalam bahasa adalah hal yang berbeda dengan bekerja melalui bahasa. Geoffrey Leech berpendapat bahwa ada dua macam pernyataan yang dapat dibuat untuk sebuah karya tulis. Di satu sisi, sebuah tulisan dapat digambarkan sebagai sebuah teks linguistik:
X ditulis dengan bahasa yang sederhana/lugas/kompleks/puitis, dan lain-lain.
Kesalahan kaum monisme adalah mereka tidak membedakan antara bekerja di dalam bahasa dengan bekerja melalui bahasa. Pada kenyataannya, bekerja di dalam bahasa adalah hal yang berbeda dengan bekerja melalui bahasa. Geoffrey Leech berpendapat bahwa ada dua macam pernyataan yang dapat dibuat untuk sebuah karya tulis. Di satu sisi, sebuah tulisan dapat digambarkan sebagai sebuah teks linguistik:
X ditulis dengan bahasa yang sederhana/lugas/kompleks/puitis, dan lain-lain.
Dalam hal ini penulis dikatakan sedang bekerja di dalam bahasa, karena ia mengutak-atik bahasa sehingga bahasa tersebut mengeluarkan makna. Di sisi lain, sebuah karya tulis dapat digambarkan dengan cara yang tidak menyinggung hal yang berhubungan dengan linguistik:
Di dalam X terdapat seorang karakter yang bijak.
Atau,
X adalah cerita tentang seorang karakter yang kejam, tentang sebuah peristiwa yang terjadi pada abad pertengahan, dan lain-lain.
Di dalam X terdapat seorang karakter yang bijak.
Atau,
X adalah cerita tentang seorang karakter yang kejam, tentang sebuah peristiwa yang terjadi pada abad pertengahan, dan lain-lain.
Dalam hal ini penulis dikatakan sedang bekerja melalui bahasa, karena ia menggunakan bahasa sebagai medium untuk menyampaikan sesuatu di luar bahasa [1].
Lagipula, dengan pendiriannya itu, kaum monis tidak akan dapat membuat penilaian terhadap sebuah tulisan. Tidak ada lagi perbedaan antara ‘apa yang seharusnya dikatakan’ dengan ‘bagaimana mengatakannya’. Padahal kita seringkali ketika membaca tulisan buruk dapat mengeluarkan komentar seperti, “Seharusnya ini dapat dituliskan dengan cara yang lebih baik lagi.” Selain itu, kaum monis tidak punya alasan untuk memberi penilaian ‘ini sastra tingkat tinggi dan ini tingkat rendah’, sedangkan kaum dualis punya alasan untuk itu karena bagi mereka ada banyak cara untuk mengungkapkan sebuah pikiran.
Sampai di sini tampak seolah-olah kita mengunggulkan dualisme. Namun dualisme juga bukannya tanpa kelemahan. Seperti yang sudah kita lihat pada contoh puisi Chairil Anwar di atas, monisme benar dengan mengatakan bahwa di dalam style terkandung makna. Mengubah style dapat mengubah makna. Ini adalah sesuatu yang ditentang oleh dualisme. Dualisme macam
yang pertama tadi bahkan mengatakan kalau suatu tulisan dapat berada tanpa style. Ini adalah kesalahan di dalam mengerti arti style. Style terus dimengerti sebagai gaya bahasa yang unik, aneh, dan indah, padahal di dalam tulisan terdapat style yang sederhana, style yang buruk, style yang monoton, dan sebagainya. Jadi, tidak mungkin ada tulisan tanpa style. “Style is a property of all texts.” tulis Leech [2]. Sedangkan kesalahan dualisme jenis kedua yaitu, seperti yang sudah dibahas di atas, adanya anggapan bahwa style adalah medium yang netral. Tadi sudah dibahas bahwa setiap pemilihan penggunaan style tidak ada yang netral, semuanya menyangkut makna yang hendak disampaikan.
Nampaknya dualisme dan monisme sama-sama mempunyai tanah pijaknya sendiri. Keduanya tidak seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Sebagai orang Kristen, kubu yang manakah yang harus kita pilih? Monisme atau dualisme? Atau apakah kita, sebagai penerima wahyu khusus, dapat memberikan sebuah cara alternatif mengerti hubungan isi-style yang berbeda dari yang ditawarkan kedua kubu di atas?
Karena masalah style dan isi ini menyangkut bidang bahasa, kita perlu melihat ke dalam Alkitab dan mencari prinsip yang membicarakan bahasa. Apakah Alkitab memberikan prinsip kebenaran di dalam bidang bahasa? Atau, apakah Alkitab menyediakan contoh natur bahasa yang sempurna, ideal, dan dapat menjadi archetype (model sempurna) bagi seluruh bahasa di dunia? Jawabannya adalah: HARUS ADA. Archetype bahasa ada pada Allah Tritunggal, Pencipta langit dan bumi serta isinya. Mari kita perhatikan beberapa ayat yang menyangkut natur bahasa:
“Pada mulanya adalah Sang Kata; Sang Kata itu bersama-sama dengan Allah dan Sang Kata itu adalah Allah.” (Yoh. 1:1)
“Sekiranya kamu mengenal aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh. 14:7)
“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yoh. 14:9)
“Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan.” (Kol. 1:15)
“The Son is the radiance of God’s glory and the exact representation of his being.” (Ibr. 1:3) [3]
“Yesus . . . penuh dengan Roh Kudus.” (Luk. 4:1)
Sampai di sini tampak seolah-olah kita mengunggulkan dualisme. Namun dualisme juga bukannya tanpa kelemahan. Seperti yang sudah kita lihat pada contoh puisi Chairil Anwar di atas, monisme benar dengan mengatakan bahwa di dalam style terkandung makna. Mengubah style dapat mengubah makna. Ini adalah sesuatu yang ditentang oleh dualisme. Dualisme macam
yang pertama tadi bahkan mengatakan kalau suatu tulisan dapat berada tanpa style. Ini adalah kesalahan di dalam mengerti arti style. Style terus dimengerti sebagai gaya bahasa yang unik, aneh, dan indah, padahal di dalam tulisan terdapat style yang sederhana, style yang buruk, style yang monoton, dan sebagainya. Jadi, tidak mungkin ada tulisan tanpa style. “Style is a property of all texts.” tulis Leech [2]. Sedangkan kesalahan dualisme jenis kedua yaitu, seperti yang sudah dibahas di atas, adanya anggapan bahwa style adalah medium yang netral. Tadi sudah dibahas bahwa setiap pemilihan penggunaan style tidak ada yang netral, semuanya menyangkut makna yang hendak disampaikan.
Nampaknya dualisme dan monisme sama-sama mempunyai tanah pijaknya sendiri. Keduanya tidak seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Sebagai orang Kristen, kubu yang manakah yang harus kita pilih? Monisme atau dualisme? Atau apakah kita, sebagai penerima wahyu khusus, dapat memberikan sebuah cara alternatif mengerti hubungan isi-style yang berbeda dari yang ditawarkan kedua kubu di atas?
Karena masalah style dan isi ini menyangkut bidang bahasa, kita perlu melihat ke dalam Alkitab dan mencari prinsip yang membicarakan bahasa. Apakah Alkitab memberikan prinsip kebenaran di dalam bidang bahasa? Atau, apakah Alkitab menyediakan contoh natur bahasa yang sempurna, ideal, dan dapat menjadi archetype (model sempurna) bagi seluruh bahasa di dunia? Jawabannya adalah: HARUS ADA. Archetype bahasa ada pada Allah Tritunggal, Pencipta langit dan bumi serta isinya. Mari kita perhatikan beberapa ayat yang menyangkut natur bahasa:
“Pada mulanya adalah Sang Kata; Sang Kata itu bersama-sama dengan Allah dan Sang Kata itu adalah Allah.” (Yoh. 1:1)
“Sekiranya kamu mengenal aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia.” (Yoh. 14:7)
“Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa.” (Yoh. 14:9)
“Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan.” (Kol. 1:15)
“The Son is the radiance of God’s glory and the exact representation of his being.” (Ibr. 1:3) [3]
“Yesus . . . penuh dengan Roh Kudus.” (Luk. 4:1)
Alkitab mengajarkan bahwa Kristus adalah Kata yang keluar (manifestasi) dari Allah Bapa. Ia adalah Wahyu yang diberikan oleh Bapa supaya Bapa yang tidak kelihatan itu boleh dikenal oleh manusia. Sang Kata adalah representasi keberadaan-Nya dan tidak ada distorsi antara yang merepresentasi dan yang direpresentasikan. Barangsiapa yang sudah melihat yang merepresentasikan, dia juga sudah melihat yang direpresentasikan, tetapi yang merepresentasikan itu bukan yang direpresentasikan. Dan semua ini dapat terjadi karena ada Roh Kudus yang mengikat yang merepresentasikan dengan yang direpresentasikan.
Menurut Vern S. Poythress, kita dapat menganalogikan relasi pikiran-kata dengan Bapa-Kata, “On a human level, we may say that the relation between human thought and human word is analogical to the relation between the Father and the Word” [4]. Di sini saya ingin menarik lebih jauh lagi analogi tersebut. Bapa-Anak bukan hanya menjadi analogi model pikiran-kata, tetapi juga dengan content-form, matter-manner, message-expression, atau isi-style. Jika memang demikian, ayat-ayat yang baru kita baca tadi dapat kita gunakan untuk menjawab baik monisme maupun dualisme.
Monisme benar di dalam mempertahankan pentingnya kemutlakan representasi (style). Ketika representasinya diubah, makna yang hendak disampaikan juga terpengaruh, karena ada ide yang lebih tepat direpresentasikan oleh suatu representasi tertentu daripada representasi yang lain, yang mana jika representasi yang paling tepat itu diganti dengan representasi yang kurang tepat, maka makna yang disampaikan juga akan meleset dari yang diinginkan. Tetapi monisme salah karena tidak mau membedakan antara yang merepresentasi dengan yang direpresentasikan. Style hanyalah representasi dari ide yang tidak kelihatan yang berada di luar bahasa. Style bukanlah ide itu sendiri.
Dualisme benar karena membedakan yang direpresentasi dengan yang merepresentasi. Yang merepresentasi memang bukan yang direpresentasi, dan yang direpresentasi bukan yang merepresentasi. Namun dualisme jenis pertama melangkah terlalu jauh ketika berkata bahwa yang merepresentasikan hanyalah dekorasi dari yang direpresentasikan. Yang merepresentasikan juga boleh tidak hadir. Ini adalah hal yang mustahil karena yang direpresentasi adalah sesuatu yang di luar bahasa. Kembali kepada model Bapa-Kata, kita tahu bahwa tidak ada orang yang bisa langsung melihat Allah Bapa. Kita selalu memerlukan medium (Mediator), yaitu Yesus Kristus.
Dualisme jenis kedua salah karena mengatakan bahwa ada banyak pilihan representasi yang sama tepatnya di dalam merepresentasi sebuah ide. Ini bukanlah yang terdapat dalam model Bapa-Kata. Di dalam model itu, tidak ada yang dapat merepresentasikan Bapa dengan lebih exact daripada yang dapat dilakukan oleh Sang Kata. Setiap ide mempunyai satu representasi yang paling tepat, dan tugas para penulis adalah menemukan dan menggunakannya. Penulis yang baik adalah penulis yang dapat menemukan style yang paling representatif bagi pikirannya.
Menurut Vern S. Poythress, kita dapat menganalogikan relasi pikiran-kata dengan Bapa-Kata, “On a human level, we may say that the relation between human thought and human word is analogical to the relation between the Father and the Word” [4]. Di sini saya ingin menarik lebih jauh lagi analogi tersebut. Bapa-Anak bukan hanya menjadi analogi model pikiran-kata, tetapi juga dengan content-form, matter-manner, message-expression, atau isi-style. Jika memang demikian, ayat-ayat yang baru kita baca tadi dapat kita gunakan untuk menjawab baik monisme maupun dualisme.
Monisme benar di dalam mempertahankan pentingnya kemutlakan representasi (style). Ketika representasinya diubah, makna yang hendak disampaikan juga terpengaruh, karena ada ide yang lebih tepat direpresentasikan oleh suatu representasi tertentu daripada representasi yang lain, yang mana jika representasi yang paling tepat itu diganti dengan representasi yang kurang tepat, maka makna yang disampaikan juga akan meleset dari yang diinginkan. Tetapi monisme salah karena tidak mau membedakan antara yang merepresentasi dengan yang direpresentasikan. Style hanyalah representasi dari ide yang tidak kelihatan yang berada di luar bahasa. Style bukanlah ide itu sendiri.
Dualisme benar karena membedakan yang direpresentasi dengan yang merepresentasi. Yang merepresentasi memang bukan yang direpresentasi, dan yang direpresentasi bukan yang merepresentasi. Namun dualisme jenis pertama melangkah terlalu jauh ketika berkata bahwa yang merepresentasikan hanyalah dekorasi dari yang direpresentasikan. Yang merepresentasikan juga boleh tidak hadir. Ini adalah hal yang mustahil karena yang direpresentasi adalah sesuatu yang di luar bahasa. Kembali kepada model Bapa-Kata, kita tahu bahwa tidak ada orang yang bisa langsung melihat Allah Bapa. Kita selalu memerlukan medium (Mediator), yaitu Yesus Kristus.
Dualisme jenis kedua salah karena mengatakan bahwa ada banyak pilihan representasi yang sama tepatnya di dalam merepresentasi sebuah ide. Ini bukanlah yang terdapat dalam model Bapa-Kata. Di dalam model itu, tidak ada yang dapat merepresentasikan Bapa dengan lebih exact daripada yang dapat dilakukan oleh Sang Kata. Setiap ide mempunyai satu representasi yang paling tepat, dan tugas para penulis adalah menemukan dan menggunakannya. Penulis yang baik adalah penulis yang dapat menemukan style yang paling representatif bagi pikirannya.
Sebagai contoh, saya akan coba memparafrase sebuah kutipan yang diambil dari cerpen Jujur Pranoto.
Seperti ingin bunuh diri, Monsera menantang teriknya Matahari tanpa berbekal setetes pun air dan menantang dinginnya malam tanpa berbekal selembar pun selimut. Pada hari ketujuh, Monsera tergeletak tanpa daya di atas permukaan rumput. Saat itu hujan turun deras. Kilat berkerjap-kerjap menerangi malam yang gelap. Guntur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera [5].
Parafrase:Tanpa takut mati, Monsera berjalan di bawah terik matahari tanpa membawa air dan melewati malam yang dingin tanpa membawa selimut. Tujuh hari kemudian, Monsera jatuh pingsan di atas tanah berumput. Ketika itu sedang ada hujan deras. Kilat memancar-mancar, sesekali membagi terang di tengah-tengah malam yang gelap. Terdengar juga suara guntur. Sesaat kemudian, tubuh Monsera tersambar petir.
Kedua paragraf di atas mengacu pada sebuah kejadian yang sama. Tetapi saya yakin, Jujur Pranoto kemungkinan besar tidak akan puas jika paragrafnya diganti dengan parafrase saya, karena baginya parafrase saya kurang dapat merepresentasikan apa yang dia imajinasikan.
Sebagai penulis Kristen, kita seharusnya terus menerus bergumul dan bergelut dengan pena kita sampai kita dapat mengeluarkan style yang paling representatif. Sebagai Anak yang diutus, Yesus taat sebagai hamba kepada Bapa karena Ia ingin sempurna merepresentasikan Bapa. Maka dengan semangat manifestasional Kristus ini, marilah kita juga berjuang untuk mengeluarkan style yang serepresentatif mungkin untuk pikiran kita. To Him be the glory! Amin.
Kedua paragraf di atas mengacu pada sebuah kejadian yang sama. Tetapi saya yakin, Jujur Pranoto kemungkinan besar tidak akan puas jika paragrafnya diganti dengan parafrase saya, karena baginya parafrase saya kurang dapat merepresentasikan apa yang dia imajinasikan.
Sebagai penulis Kristen, kita seharusnya terus menerus bergumul dan bergelut dengan pena kita sampai kita dapat mengeluarkan style yang paling representatif. Sebagai Anak yang diutus, Yesus taat sebagai hamba kepada Bapa karena Ia ingin sempurna merepresentasikan Bapa. Maka dengan semangat manifestasional Kristus ini, marilah kita juga berjuang untuk mengeluarkan style yang serepresentatif mungkin untuk pikiran kita. To Him be the glory! Amin.
Endnotes:
[1] Leech, G. (1981). Sytle in Fiction: A Linguistic Introduction to English Fictional Prose. London: Longman. p. 37
[2] idem. p. 18[3] Terjemahan NIV. Terjemahan LAI kurang menggigit, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.” Di sini kata “exact” tidak terterjemahkan.
[4] Poythress, V. (19—). God-Centered Biblical Interpretation. Philipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Company. Diambil dari versi web: http://www.frame-poythress.org/Poythress_books/ GCBI/BG00Front.htm. Bab 7
[5] Pranoto, J. (2002). Doa yang mengancam. Jejak Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2002. Ed. Nurhan, K. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. p. 48-58